21 March 2018
Klitih Jogja : Krisis Lingkungan Sosial
Wednesday, March 21, 2018
No comments
~~ M. Syafi'ie
Penghinaan secara verbal yang dilakukan
dengan konsisten,
secara tidak disadari memiliki dampak
penghancuran yang tidak kalah kuatnya
terhadap diri seseorang
[Wahyu Bramastyo]
Yogyakarta
kembali ramai diperbincangkan. Saat ini tentang kondisi para remajanya yang
terlibat praktek kekerasan klitih. Orang-orang awalnya tak peduli dengan
istilah klitih ini, bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai kebiasaan orang
secara umum yang sehari-hari mencari kesibukan. Klitih atau aslinya Nglithih/klithih merupakan Bahasa Jawa
yang berarti mencari kesibukan di saat senggang.
Klitih
menjadi tidak enak ketika disambungkan dengan kenakalan remaja. Mencari
kesibukan di waktu senggang tidak lagi positif, tetapi berkorelasi dengan
perilaku remaja yang berkeliling menggunakan kendaraan, utamanya para pelajar
yang mencari pelajar sekolah lain yang dianggap sebagai musuhnya. Setelah
ketemu dengan yang dianggap musuh, para pelajar itu pun berolah dengan menusuk
dan melakukan kekerasan. Aksi vandalisme dengan mencoret-coret gedung dan
jalanan juga menjadi bagian aksi ngelithih.
Akibat
praktek klitih terdapat sejumlah pelajar yang menjadi korban meninggal,
luka-luka dan kekerasan lainnya. Tidak berselang lama, praktek klitih pun
menyebar dan sangat meresahkan warga, orang tua dan anak-anak. Yogyakarta yang
dikenal sebagai kota pendidikan dan parawisata terganggu dengan potret
remajanya yang gemar akan kekerasan dan anarki. Di tengah keresahan yang
menguat itu, warga kota Jogja melakukan unjuk rasa dan menolak fenomena klitih
yang dinilai mereka hanya dilakukan segelintir pelajar. Aparat kepolisian
diminta tegas dan menangkap para pelaku tindak kejahatan klitih.
Polisi
dalam kasus-kasus kejahatan, tidak peduli dalam hal ini melibatkan anak-anak
remaja selalu menjadi tumpuan untuk bertindak aktif untuk menyelesaikan kasus.
Kita tahu, mandat polisi disitu : penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Tugas kepolisian disini tidak mudah, karena tugasnya tidak semata menegakkan
hukum, tetapi ada dimensi pengayoman dan pencegahan kejahatan sejak awal.
Menyelesaikan masalah secara kemitraan antara kepolisian dengan masyarakat,
kepolisian dengan pihak sekolah dan pemerintah daerah, dan pihak kepolisian
dengan para pelajar menjadi sangat penting dilakukan.
Fenomana
klitih kalau kita baca sebenarnya tidak semata ‘praktek jahatnya’ tetapi
berelasi dengan itu semua ialah potret dari gagalnya lingkungan remaja pelaku
klitih untuk membawa mereka agar dapat menghormati dan mencintai manusia yang
lain. Lingkungan sekolah, keluarga dan pertemanan pelajar seperti mengarahkan
mereka agar menjadi pribadi yang jahat. Kejahatan seseorang tidak hadir
sendiri, tetapi ia ditopang oleh situasi dan kondisi lingkungan yang
menyebabkan mereka frustasi, suasana sosial yang tidak ramah dengan kondisi
psikologis para remaja, dan menggemari kekerasan sebagai jalan keluar
persoalan.
Secara
sadar kita mesti memahami bahwa tak yang bermasalah dengan seorang anak yang
baru lahir. Ia terlahir fitrah dan suci. Lingkungan sosial yang membuatnya
jahat dan tidak sadar bahwa tindakan jahatnya pasti akan merugikan diri,
keluarga dan masa depannya. Perilaku anak-anak remaja bergantung pada banyak
faktor yang membentuknya : pola asuh, pemahaman yang diwarsikan oleh keluarga
dan sosial, role model anak-anak, gaya hidup pertemanan, tuntutan lingkungan
sosial, kecemasan dan norma-norma sosial yang menghilangkan anak-anak menemukan
jati dirinya.
Karena
itu, kekerasan klitih yang dilakukan para remaja di Yogyakarta sebenarnya
merupakan fenomena yang kompleks. Solusi penyelesaiannya tidak bisa semata
diserahkan kepada aparat keamanan kepolisian, tetapi harus semua pihak,
utamanya sekolah dan keluarga yang harus membenahi persoalan-persoalan yang
mendorong remaja atau pelajar sehingga menjadi pribadi yang sangat agresif dan
gemar akan kekerasan.
Sistem
pendidikan sekolah harus berbenah sehingga tidak terlampau membebani dan
membuat anak menjadi frustasi. Lingkungan keluarga juga harus menata ulang agar
rumah menjadi tempat yang nyaman dan interaksi antar sesama keluarga mesti
dijalin saling mengasihi antara satu dengan lainnya. Keluarga harus menghindari
pendidikan dengan cara-cara dominasi dan kekerasan : verbal dan atau non
verbal. Lingkungan sosial dan pertemanan
anak pun juga harus dievaluasi legi,
agar lingkungan sosial dan pertemanan berjalan produktif dan berguna untuk
kebaikan masa depan anak-anak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment