21 March 2018

Penanganan Konflik Bernuansa Agama Untuk Kepolisian dan Pemerintah


~~ M. Syafi'ie

Konflik bernuansa agama menjadi problem serius yang dihadapi negara Indonesia saat ini. Banyak kasus terjadi, mulai kekerasan, intimidasi, penyekapan, ujaran kebencian (hate speech) penyegelan  dan pembakaran rumah ibadah, sampai dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sesat. Peristiwa konflik kekerasan bernuansa agama menyebar di seluruh Indonesia. Merujuk berbagai laporan tahun 2015, dominasi konflik bernuansa agama terjadi di Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Jakarta dan Yogyakarta.



Laporan Setara Institute 2015 menyebutkan, telah terjadi 197 konflik dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan 236 bentuk tindakan. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding tahun 2014 yang tercatat ada 134 peristiwa, dengan 177 tindakan.  Dan yang mencengangkan, jika konflik bernuansa agama diakumulasi selama 9 tahun ke belakang, telah terjadi 1.867 peristiwa dengan 2.498 tindakan pelanggaran. Terjadi 17 lebih peristiwa setiap bulan, atau hampir 6 tindakan pelanggaran dalam setiap minggunya.

Melihat jumlah konflik bernuansa agama yang tidak sedikit, menjadi penting membaca landasan berfikir mengapa konflik bernuansa agama harus ditangani serius kepolisian. Landasan filosofis, sosiologis dan hukum menjadi fundamen untuk selalu diingat, agar kepolisian, tidak dikalahkan oleh suara kelompok intoleran tertentu dan dalam skala yang lebih besar akan merusak sendi-sendi bangunan kebangsaan dan keindonesiaan. Para petugas kepolisian harus menyadari tanggungjawab utamanya untuk melindungi, mangayomi dan menghormati semua umat beragama atau keyakinan, tanpa terkecuali.

Landasan Filosofis

Landasan dasar yang mesti dirujuk dalam penanganan konflik bernuansa agama di Indonesia alah perintah konsitusi bahwa Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Perintah ini memberi arti bahwa negara Indonesia sejak awal telah menyadari eksistensi pluralitas agama dan keyakinan yang telah ada, dan pendirian negara Indonesia diarahkan untuk menghormati setiap agama dan melindungi para penganut agama yang mengamalkan ajaran agamanya.

Kesadaran tugas negara untuk berada di atas semua agama, karena salah satu persoalan yang pasti dihadapi oleh setiap negara yang didalamnya terdiri multi agama ialah potensi terjadinya konflik, persaingan dan kontestasi antara nilai-nilai partikular yang ada dalam masing-masing agama dan keyakinan. Setiap agama pasti mengandaikan sistem nilai yang khas dan berbeda dengan agama yang lain, sehingga pluralisme nilai dan sistem kebenaran agama menjadi satu hal yang tidak mungkin dihindari. [1] Setiap orang, dan para pemangku kebijakan pasti berhadapan dengan fakta sosial bahwa tidak hanya satu agama, atau tidak hanya satu keyakinan yang ada. Tetapi varian keyakinan dan agama yang hidup.

Keragaman agama dan keyakinan, telah disadari juga oleh para pendiri bangsa. Dan sejak awal negara Indonesia didirikan, semangat persatuan dan akomodasi semua kelompok telah dinyatakan secara terus terang. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945 menyatakan : “Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan  negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan  suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan satu golongan, baik golongan kebangsawanan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua.”

Soekarno menegaskan bahwa negara Indonesia yang hendak dibangun ialah konstruksi negara yang berprinsip ‘semua buat semua’. Satu konsepsi negara yang dapat didefinisikan sebagai kerangka universal untuk mengatasi berbagai problem partikular yang pasti terjadi dan akan terus menerus berkembang, baik akibat problem klaim kebenaran agama atau keyakinan, kelas sosial, kejayaan etnis dan atau pun golongan. Negara diletakkan sebagai alat pemersatu ragam perbedaaan, pelindung semua yang beragam dan terpenting, negara ditegaskan tidak hanya milik satu kelompok atau golongan tertentu.

Pemikiran Soekarno, selaras dengan gagasan Hobbes dan Rousseau, di mana hukum penerimaan akan konsep negara bangsa menjadi akhir sistem dan cara pandang pandang yang partikular. Konsep negara bangsa tidak bisa membatalkan atau pun meniadakan sistem nilai yang telah berakar pada situasi antropologis yang lama, tetapi mentransformasikannya di bawah sistem dan nilai bersama yang lebih besar, yaitu sistem kebangsaan yang pluralistik dan sistem kenegaraan baru yang mesti menjamin perlindungan keberagamaan sosial yang ada.[2]

Gagasan Hatta tidak jauh berbeda. Baginya, ajaran-ajaran agama memiliki nilai penting untuk mendorong kebangsaan yang beradab. Ia mengatakan, “Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Mahaesa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya untuk membela kebenaran, dengan kelanjutannya : menentang segala dusta. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela keadilan, dengan kelanjutannya : menentang dan mencegah kedzaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam hidupnya berbuat yang baik, dengan kelanjutannya : memperbaiki kesalahan.”[3]

Menurut Yudi Latif, pandangan Soekarno dan Hatta mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik politik dengan selalu memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Ketuhanan, diharapkan bisa memperkuat pembentukan karakter, melahirkan bangsa dan etos kerja yang positif, memiliiki ketahanan dan kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang diberikan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[4]

Pemikiran di atas menegaskan bahwa penanganan konflik bernuansa agama, keyakinan, dan atau apa pun dasar konfliknya, pemangku kebijakan harus bertindak. Mandat pembentukan negara dan jaminan konstitusional, jelas menjadi landasan berfikir bahwa negara harus berada di depan untuk mencegah dan menanggulangi berbagai konflik. Dalam konteks pluralitas agama, negara mesti berada di atas semua agama dan atau keyakinan. Dan negara harus ambil bagian untuk mendorong kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan atau keyakinan. Negara juga mesti menghindari politisasi agama, yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong pengucilan, sikap saling tidak percaya, kekerasan berbasis agama dan keretakan antar warga negara.

Landasan Sosiologis

Satu kondisi yang tidak bisa dibantah dalam kehidupan masyarakat ialah kenyataan bahwa masyarakat hidup dengan pluralitasnya, yaitu masyarakat  yang hidup bersama tetapi berbeda agama, keyakinan dan atau pandangan hidupnya.[5] Dan Indonesia terhitung sebagai negara yang masyarakatnya sangat majemuk, baik agama, keyakinan, etnis, golongan dan budaya. Tetapi negara Indonesia memiliki sejarah yang cukup baik bagaimana umat beragama dan berkeyakinan, atau perbedaan etnis, bisa saling berkolaborasi, berangkulan, bersahabat, bersaudara dan hidup dalam suasana rukun dan damai.

Dalam konteks beragama, Indonesia pernah mencatat bagaimana tercipta persahabatan yang erat dan produktif antara tokoh-tokoh Masyumi dengan pemimpin-pemimpin Katolik, Protestan dan pemimpin agama-agama yang lain. Di antara tokoh itu ialah Natsir atau Prawoto Mangkusasmito sangat dekat dengan I.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M. Tambunan atau J. Leimina. Kedekatan itu terjalin sejak sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Hubungan mereka berlangsung dinamis, kadang-kadang berbeda pandangan politik, tetapi komitmen kebangsaan dan keindonesiaan telah memberi energi positif kepada mereka untuk selalu bersahabat.[6]

Persahabatan dan kerukunan aneka suku, agama, ras, dan budaya dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa telah lama berlangsung di Indonesia. Kenyataan persahabatan dan kerukunan karena nilai-nilai ajaran agama khususnya mengajarkan perilaku yang luhur, bermoral, bermartabat, dan menjunjung penghormatan terhadap manusia dan kelestarian alam. Dan agama sendiri, seperti definisinya : “a” yang berarti “tidak” dan “gama’ yang berarti “kacau”, merupakan peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan dan dinilai akan mengantarkan manusia ke arah keteraturan dan ketertiban.[7]

Keberadaan agama yang beragam satu sisi, dan  nilai agung yang terkandung dalam pesan agama, mengantarkan Indonesia mengakui bahwa negara ini berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta mengatakan, dasar Ketuhanan yang Mahaesa, bisa jadi pijakan untuk memimpin cita-cita negara Indonesia; yang memberikan jiwa kepada usaha untuk menyelenggarakan tata kelola yang benar, adik dan baik. Dan Ketuhanan yang Mahaesa juga menjadi dasar hormat menghormati antar agama dan mengarahkan kepemimpinan negara ke arah jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.[8]

Landasan Hukum

Penanganan konflik bernuansa agama dan keyakinan memiliki landasan hukum yang jelas di Indonesia. Aturan hukum yang menjamin soal kebebasan beragama dan atau berkeyakinan satu sisi dan aturan penanganan konflik sosial sisi yang lain. Aturan-aturan tersebut antara lain : Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,  Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Perkap No. 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial dan Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan hukum utama di Indonesia mengatur dengan jelas soal hak beragama dan keyakinan. Pasal 28E ayat 1 berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pada ayat 2 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 menyebut hak beragama sebagai hak yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Pasal 28I ayat 1 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Dan pada ayat 2 berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Dan konstitusi Indonesia, secara spesifik mempunyai bab yang mengatur soal keberadaan dan jaminan agama di Indonesia, yaitu Bab XI. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pada ayat 2 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dan jaminan konstitusi diperkuat oleh Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tengang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”

Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 18 ayat berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.” Ayat 2 berbunyi, “Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.” Dan ayat 3 berbunyi, “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral mayarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain”

Berdasar uraian norma-norma di atas, terdapat 8 (delapan) inti normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan yang diakui secara internasional saat ini, yaitu :[9]
1.      Kebebasan internal. Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkesadaran, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.
2.      Kebebasan eksternal. Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan.
3.      Tanpa dipaksa. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
4.      Tanpa diskriminasi. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
5.      Hak orang tua dan wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang
6.      Kebebasan korporat dan kedudukan hukum. Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari hak hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.
7.      Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal. Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral  atau hak-hak mendasar orang lain
8.      Tidak dapat dikurangi. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.

Perlindungan terhadap kebebasan beragama dan atau berkeyakinan, serta penanganan berbagai konflik bernuansa agama, polisi mempunyai peran penting. Sebab, institusi kepolisian dimandatkan konstitusi dan Undang-Undang Kepolisian untuk menjaga dan menjamin keamanan, ketertiban, penegakan hukum dan pengayoman kepada setiap warga negara tanpa terkecuali. Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Kepolisian Ripublik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”  Pasal 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian berbunyi,  “Kepolisian Negara Ripublik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terpeliharanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”

Institusi kepolisian sendiri saat ini telah memiliki Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 8 ayat 1 berbunyi, “Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen-instrumen baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan instrumen internasional, baik yang diratifikasi maupun yang belum.” Pada ayat 2 berbunyi, “Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya : (1) Menghormati martabat dan HAM setiap orang. (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif. (3) Berprilaku sopan. (4) Menghargai norma agama, etika dan susila. (5) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.

Dan institusi kepolisian juga telah memiliki Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Surat Edaran ini dibuat diantaranya agar kepolisian lebih peka terhadap perbuatan ujaran kebencian yang memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusian seperti yang telah terjadi di Rwanda, Afrika Selatan, ataupun di Indonesia. Menurut Surat Edaran ini, sejarah kemanusiaan di dunia maupun bangsa ini, ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantian etnis atau genosida terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Karena itu, masalah ujaran kebencian harus dapat ditangani dengan baik karena dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa.

Penanganan konflik bernuansa agama, polisi saat ini mempunyai legitimasi lebih strategis setelah Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.

Menindaklanjuti Undang-Undang No. 7 tahun 2012 ini, institusi kepolisian telah mengeluarkan Perkap No. 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. Dalam Perkap ini ditegaskan bahwa potensi konflik yang bersumber dari berbagai masalah seharusnya bisa dideteksi polisi dan diidentifikasi lebih dini melalui fungsi intelejen dan strategis perpolisian masyarakat atau community policing, sehingga dapat dilakukan antisipasi dan pencegahan agar potensi konflik tidak berkembang menjadi konflik.Perpolisian masyarakat atau community policing menurut Perkap ini ialah strategi yang digunakan dalam melaksanakan tugas pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga diharapkan dapat terbangun kepedulian, kepekaan dan kebersamaan antara kepolisian dengan masyarakat, dan dapat memecahkan berbagai permasalahan sosial, khususnya dalam mengeliminasi berbagai potensi konflik yang ada.





x


[1] Ismail Hasani (Editor), Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, 2011, hlm 10-11
[2] Ibid, hlm 11-12
[3] Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila : Pidato Peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional, 1 Juni 1977, Idayu Press, Jakarta, hlm 33
[4] Yudi Latif, Negara Paripurna, Gramedia Kompas, Jakarta, 2011, hlm 119-120
[5] Tore Lindholm, Justifikasi Filosofis dan Keragaman Terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm, dkk, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan : Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010,  hlm  97-102
[6] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Masa Depan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia, ibid, hlm xi
[7] Abd. Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Kata Kita, Depok, 2009, hlm 41-42
[8] Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila : Pidato … Op.Cit, hlm 33
[9] Tore Lindholm, dkk (Ed), Kebebasan Beragama … Op. Cit, hlm 20-21

0 comments:

Post a Comment