~~ M. Syafi'ie
Konflik bernuansa agama menjadi problem
serius yang dihadapi negara Indonesia saat ini. Banyak kasus terjadi, mulai
kekerasan, intimidasi, penyekapan, ujaran kebencian (hate speech) penyegelan dan
pembakaran rumah ibadah, sampai dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang
dituduh sesat. Peristiwa konflik kekerasan bernuansa agama menyebar di seluruh
Indonesia. Merujuk berbagai laporan tahun 2015, dominasi konflik bernuansa
agama terjadi di Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Jakarta dan Yogyakarta.
Laporan Setara Institute 2015
menyebutkan, telah
terjadi 197 konflik dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan
236 bentuk tindakan. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding tahun 2014 yang tercatat
ada 134 peristiwa, dengan 177 tindakan. Dan yang mencengangkan, jika konflik
bernuansa agama diakumulasi selama 9 tahun ke belakang, telah terjadi 1.867 peristiwa dengan 2.498 tindakan
pelanggaran. Terjadi 17 lebih peristiwa setiap bulan, atau hampir 6 tindakan
pelanggaran dalam setiap minggunya.
Melihat jumlah konflik bernuansa agama yang tidak sedikit, menjadi
penting membaca landasan berfikir mengapa konflik bernuansa agama harus
ditangani serius kepolisian. Landasan filosofis, sosiologis dan hukum menjadi
fundamen untuk selalu diingat, agar kepolisian, tidak dikalahkan oleh suara
kelompok intoleran tertentu dan dalam skala yang lebih besar akan merusak sendi-sendi
bangunan kebangsaan dan keindonesiaan. Para petugas kepolisian harus menyadari
tanggungjawab utamanya untuk melindungi, mangayomi dan menghormati semua umat
beragama atau keyakinan, tanpa terkecuali.
Landasan
Filosofis
Landasan dasar yang mesti dirujuk dalam
penanganan konflik bernuansa agama di Indonesia alah perintah konsitusi bahwa
Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Perintah ini memberi arti bahwa negara Indonesia sejak awal telah menyadari
eksistensi pluralitas agama dan keyakinan yang telah ada, dan pendirian negara
Indonesia diarahkan untuk menghormati setiap agama dan melindungi para penganut
agama yang mengamalkan ajaran agamanya.
Kesadaran tugas negara untuk berada di atas
semua agama, karena salah satu persoalan yang pasti dihadapi oleh setiap negara
yang didalamnya terdiri multi agama ialah potensi terjadinya konflik,
persaingan dan kontestasi antara nilai-nilai partikular yang ada dalam
masing-masing agama dan keyakinan. Setiap agama pasti mengandaikan sistem nilai
yang khas dan berbeda dengan agama yang lain, sehingga pluralisme nilai dan
sistem kebenaran agama menjadi satu hal yang tidak mungkin dihindari.
Setiap orang, dan para pemangku kebijakan pasti berhadapan dengan fakta sosial
bahwa tidak hanya satu agama, atau tidak hanya satu keyakinan yang ada. Tetapi
varian keyakinan dan agama yang hidup.
Keragaman agama dan keyakinan, telah disadari
juga oleh para pendiri bangsa. Dan sejak awal negara Indonesia didirikan,
semangat persatuan dan akomodasi semua kelompok telah dinyatakan secara terus
terang. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945 menyatakan : “Saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan
negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat
satu orang, bukan satu golongan, baik golongan kebangsawanan, maupun golongan
yang kaya, tapi semua buat semua.”
Soekarno menegaskan bahwa negara Indonesia
yang hendak dibangun ialah konstruksi negara yang berprinsip ‘semua buat
semua’. Satu konsepsi negara yang dapat didefinisikan sebagai kerangka
universal untuk mengatasi berbagai problem partikular yang pasti terjadi dan
akan terus menerus berkembang, baik akibat problem klaim kebenaran agama atau
keyakinan, kelas sosial, kejayaan etnis dan atau pun golongan. Negara
diletakkan sebagai alat pemersatu ragam perbedaaan, pelindung semua yang
beragam dan terpenting, negara ditegaskan tidak hanya milik satu kelompok atau
golongan tertentu.
Pemikiran Soekarno, selaras dengan gagasan
Hobbes dan Rousseau, di mana hukum penerimaan akan konsep negara bangsa menjadi
akhir sistem dan cara pandang pandang yang partikular. Konsep negara bangsa
tidak bisa membatalkan atau pun meniadakan sistem nilai yang telah berakar pada
situasi antropologis yang lama, tetapi mentransformasikannya di bawah sistem
dan nilai bersama yang lebih besar, yaitu sistem kebangsaan yang pluralistik
dan sistem kenegaraan baru yang mesti menjamin perlindungan keberagamaan sosial
yang ada.
Gagasan Hatta tidak jauh berbeda. Baginya,
ajaran-ajaran agama memiliki nilai penting untuk mendorong kebangsaan yang
beradab. Ia mengatakan, “Pengakuan kepada
dasar Ketuhanan Yang Mahaesa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam
alam, dilakukan terutama dengan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara
manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya untuk
membela kebenaran, dengan kelanjutannya : menentang segala dusta. Pengakuan itu
mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela keadilan, dengan kelanjutannya :
menentang dan mencegah kedzaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia dalam
hidupnya berbuat yang baik, dengan kelanjutannya : memperbaiki kesalahan.”
Menurut Yudi Latif, pandangan Soekarno dan
Hatta mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan
publik politik dengan selalu memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan,
mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial. Dengan berpegang
teguh pada nilai-nilai Ketuhanan, diharapkan bisa memperkuat pembentukan
karakter, melahirkan bangsa dan etos kerja yang positif, memiliiki ketahanan
dan kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang diberikan dalam rangka
mewujudkan kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pemikiran di atas menegaskan bahwa penanganan
konflik bernuansa agama, keyakinan, dan atau apa pun dasar konfliknya, pemangku
kebijakan harus bertindak. Mandat pembentukan negara dan jaminan
konstitusional, jelas menjadi landasan berfikir bahwa negara harus berada di
depan untuk mencegah dan menanggulangi berbagai konflik. Dalam konteks
pluralitas agama, negara mesti berada di atas semua agama dan atau keyakinan.
Dan negara harus ambil bagian untuk mendorong kehidupan yang harmonis antar
umat beragama dan atau keyakinan. Negara juga mesti menghindari politisasi
agama, yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong pengucilan, sikap
saling tidak percaya, kekerasan berbasis agama dan keretakan antar warga
negara.
Landasan
Sosiologis
Satu kondisi yang tidak bisa dibantah dalam kehidupan
masyarakat ialah kenyataan bahwa masyarakat hidup dengan pluralitasnya, yaitu
masyarakat yang hidup bersama tetapi
berbeda agama, keyakinan dan atau pandangan hidupnya.
Dan Indonesia terhitung sebagai negara yang masyarakatnya sangat majemuk, baik
agama, keyakinan, etnis, golongan dan budaya. Tetapi negara Indonesia memiliki
sejarah yang cukup baik bagaimana umat beragama dan berkeyakinan, atau
perbedaan etnis, bisa saling berkolaborasi, berangkulan, bersahabat, bersaudara
dan hidup dalam suasana rukun dan damai.
Dalam konteks beragama, Indonesia pernah
mencatat bagaimana tercipta persahabatan yang erat dan produktif antara
tokoh-tokoh Masyumi dengan pemimpin-pemimpin Katolik, Protestan dan pemimpin
agama-agama yang lain. Di antara tokoh itu ialah Natsir atau Prawoto
Mangkusasmito sangat dekat dengan I.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M. Tambunan
atau J. Leimina. Kedekatan itu terjalin sejak sebelum kemerdekaan maupun
sesudahnya. Hubungan mereka berlangsung dinamis, kadang-kadang berbeda
pandangan politik, tetapi komitmen kebangsaan dan keindonesiaan telah memberi
energi positif kepada mereka untuk selalu bersahabat.
Persahabatan
dan kerukunan aneka suku, agama, ras, dan budaya dengan jumlah penduduk lebih
dari 230 juta jiwa telah lama berlangsung di Indonesia. Kenyataan persahabatan dan kerukunan karena
nilai-nilai ajaran agama khususnya mengajarkan perilaku yang luhur, bermoral,
bermartabat, dan menjunjung penghormatan terhadap manusia dan kelestarian alam.
Dan agama sendiri, seperti definisinya : “a”
yang berarti “tidak” dan “gama’ yang berarti “kacau”, merupakan peraturan yang menghindarkan manusia dari
kekacauan dan dinilai akan mengantarkan manusia ke arah keteraturan dan
ketertiban.
Keberadaan agama yang beragam satu sisi,
dan nilai agung yang terkandung dalam
pesan agama, mengantarkan Indonesia mengakui bahwa negara ini berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta mengatakan, dasar Ketuhanan yang
Mahaesa, bisa jadi pijakan untuk memimpin cita-cita negara Indonesia; yang
memberikan jiwa kepada usaha untuk menyelenggarakan tata kelola yang benar,
adik dan baik. Dan Ketuhanan yang Mahaesa juga menjadi dasar hormat menghormati
antar agama dan mengarahkan kepemimpinan negara ke arah jalan kebenaran,
kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
Landasan
Hukum
Penanganan
konflik bernuansa agama dan keyakinan memiliki landasan hukum yang jelas di
Indonesia. Aturan hukum yang menjamin soal kebebasan beragama dan atau berkeyakinan
satu sisi dan aturan penanganan konflik sosial sisi yang lain. Aturan-aturan
tersebut antara lain : Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak
Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-Undang No. 7 tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial, Perkap No. 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan
Konflik Sosial dan Surat Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech).
Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan hukum utama di Indonesia mengatur dengan jelas soal
hak beragama dan keyakinan. Pasal
28E ayat 1 berbunyi, “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pada ayat 2
berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 menyebut hak
beragama sebagai hak yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Pasal 28I ayat 1
berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Dan pada ayat 2
berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Dan konstitusi Indonesia, secara spesifik
mempunyai bab yang mengatur soal keberadaan dan jaminan agama di Indonesia,
yaitu Bab XI. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.” Pada ayat 2 berbunyi, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dan jaminan konstitusi diperkuat oleh
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tengang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun”
Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 18
ayat berbunyi, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri,
dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik
di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.” Ayat 2 berbunyi, “Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga
mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya
sesuai dengan pilihannya.” Dan ayat 3 berbunyi, “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan, atau moral mayarakat atau hak dan kebebasan dasar orang
lain”
Berdasar uraian norma-norma di atas, terdapat
8 (delapan) inti normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan yang diakui
secara internasional saat ini, yaitu :
1. Kebebasan internal. Setiap
orang berhak atas kebebasan berfikir, berkesadaran, dan beragama; hak ini
mencakup kebebasan setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah
agama atau keyakinan.
2. Kebebasan eksternal. Setiap
orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di
tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan.
3. Tanpa dipaksa. Tidak
seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.
4. Tanpa diskriminasi. Negara
berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau
berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada
wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan
tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya,
kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
5. Hak orang tua dan wali. Negara
berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali
hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan
kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap
anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang
6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum.
Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan,
termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan
mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim
diakui bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian
dari hak hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai
salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya
secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.
7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap
kebebasan eksternal. Kebebasan memanifestasikan agama atau
keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan
yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau
moral atau hak-hak mendasar orang lain
8. Tidak dapat dikurangi. Negara
tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam
keadaan darurat publik.
Perlindungan terhadap kebebasan beragama dan
atau berkeyakinan, serta penanganan berbagai konflik bernuansa agama, polisi
mempunyai peran penting. Sebab, institusi kepolisian dimandatkan konstitusi dan
Undang-Undang Kepolisian untuk menjaga dan menjamin keamanan, ketertiban,
penegakan hukum dan pengayoman kepada setiap warga negara tanpa terkecuali.
Pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Kepolisian Ripublik
Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Pasal 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian berbunyi, “Kepolisian
Negara Ripublik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terpeliharanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.”
Institusi kepolisian sendiri saat ini telah memiliki Perkap No. 8 Tahun
2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 8 ayat 1 berbunyi, “Setiap anggota Polri wajib memahami
instrumen-instrumen baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia dan instrumen internasional, baik yang diratifikasi maupun yang
belum.” Pada ayat 2 berbunyi, “Setiap
anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari wajib untuk menerapkan
perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya : (1) Menghormati martabat
dan HAM setiap orang. (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif. (3)
Berprilaku sopan. (4) Menghargai norma agama, etika dan susila. (5) Menghargai
budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.
Dan institusi
kepolisian juga telah memiliki Surat
Edaran No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Surat Edaran ini dibuat diantaranya agar
kepolisian lebih peka terhadap perbuatan ujaran kebencian yang memiliki
dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusian seperti yang
telah terjadi di Rwanda, Afrika Selatan, ataupun di Indonesia. Menurut Surat
Edaran ini, sejarah kemanusiaan di dunia maupun bangsa ini, ujaran kebencian
bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi,
kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantian etnis
atau genosida terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Karena
itu, masalah ujaran kebencian harus dapat ditangani dengan baik karena dapat
merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang berbhineka tunggal
ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa.
Penanganan konflik bernuansa agama, polisi
saat ini mempunyai legitimasi lebih strategis setelah Undang-Undang No. 7 tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya
penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai, dan sejahtera, baik
lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.
Menindaklanjuti Undang-Undang No. 7 tahun
2012 ini, institusi kepolisian telah mengeluarkan Perkap No. 8 Tahun 2013 tentang Teknis
Penanganan Konflik Sosial. Dalam Perkap ini ditegaskan bahwa potensi konflik
yang bersumber dari berbagai masalah seharusnya bisa dideteksi polisi dan
diidentifikasi lebih dini melalui fungsi intelejen dan strategis perpolisian
masyarakat atau community policing,
sehingga dapat dilakukan antisipasi dan pencegahan agar potensi konflik tidak
berkembang menjadi konflik.Perpolisian masyarakat atau community policing menurut Perkap ini ialah strategi yang digunakan
dalam melaksanakan tugas pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga
diharapkan dapat terbangun kepedulian, kepekaan dan kebersamaan antara
kepolisian dengan masyarakat, dan dapat memecahkan berbagai permasalahan
sosial, khususnya dalam mengeliminasi berbagai potensi konflik yang ada.
x
0 comments:
Post a Comment