21 March 2018
Pendidikan Agama Yang Menghargai Manusia
Wednesday, March 21, 2018
No comments
~~ M. Syafi'ie
Pendidikan adalah proses pembebasan
dan pendidikan adalah proses pembangkitan
kesadaran kritis
[Paulo Freire]
Kita
terkejut dengan informasi bahwa ada seorang anak yang mengkafirkan temannya gara-gara berbeda agama dan
menganggapnya sebagai orang yang berbeda. Informasi itu berkembang luas karena
diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat
pengaduan dari salah satu wali murid terkait potret intoleransi pelajar yang
terjadi di sekolah.
Pengkafiran
pelajar ternyata ditopang oleh ragam informasi yang memperlihatkan menguatnya
cara pandang eksklusif di kalangan pelajar. Di beberapa sekolah, lewat
kegiatan-kegiatan OSIS terlihat kegiatan yang semakin menjauhkan dari semangat
kebersamaan antar lintas keyakinan dan bahkan mendiskreditkan terhadap
keyakinan yang berbeda. Keyakinan agama di kalangan pelajar semakin dibuat
tertutup dan dijauhkan untuk dapat berdialog dengan ragam kepercayaan,
keyakinan dan bahkan dengan ragam pilihan madzhab. Dialog lintas agama dicegah,
dialog lintas madzhab dan pemikiran tidak dibangun.
Cara
pendang ekslusif di kalangan pelajar ternyata berhubungan kuat dengan praktek
intoleransi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi
yang terlihat : mulai pembubaran diskusi karena terkait perbedaan pemikiran
agama, penutupan dan pengrusakan tempat ibadah, penyerangan kelompok yang
dituduh syiah dan ahmadiyah, sampai dengan pembakaran tokoh agama di Aceh
misalnya karena diduga yang bersangkutan melakukan praktek pengobatan
alternatif yang dinilai menyimpang dari akidah.
Apa
yang terjadi pada pelajar yang semakin eksklusif dalam beragama di Indonesia
memperlihatkan tentang wajah wacana publik keagamaan di Indonesia yang semakin
mengalami krisis. Agama seperti kehilangan perannya untuk menghidupkan pesan
kemanusiaan, keadaban dan kedamaian di muka bumi. Agama seperti penghidup api
pembedaan dan permusuhan di antara orang-orang yang berbeda agama dan
kepercayaan. Indikasinya adalah penganut agama yang tidak lagi mau untuk hidup
berdampingan dengan orang-orang yang dinilai tidak satu keyakinan agama dan
kepercayaan. Bahkan, orang dan kelompok yang berbeda dianggap sebagai musuh.
Di
tengah situasi yang serba ekslusif, kita berharap pada sistem pendidikan agama
yang lebih menggali nilai-nilai emansipatif
yang terdapat di jantung agama. Sistem pendidikan agama yang emansipatif
sejalan dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yaitu sebuah proses untuk
memausiakan manusia (humanizing human
being). Sistem pendidikan agama yang memanusiakan tentu tidak mudah.
Dibutuhkan guru yang mengerti tentang hakekat agama, kurikulum yang
mempertemukan dialog antar agama, kepercayaan dan madzhab, sarana prasarana
yang mendukung dan pelajar yang diperkuat untuk menjadi pribadi yang dapat
menghargai setiap manusia dengan keragamannya.
Buya
Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa pendidikan Islam bukanlah sekedar proses
penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif
globalisasi. Tetapi yang paling urgen –menurut beliau—adalah bagaimana nilai
moral yang ditelah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai kekuatan
pembebas (liberating force) dari
himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pernyataan
Buya Syafi’i secara tidak langsung juga mengkritik tentang sistem pendidikan
agama selama ini yang masih belum menjadi media pembebas penganutnya untuk
lebih terbuka, lebih memahami perbedaan sebagai fitrah, lebih memahami ajaran
agama untuk saling menguatkan nilai solidaritas untuk membebaskan negara
Indonesia dari lubang kemiskinan yang tidak kunjung terselesaikan. Ajaran agama
yang ekslusif secara tidak langsung sebenarnya memasung penganutnya berada di
garis keterbelakangan dan kebodohan. Di tengah suasana ekslusifisme beragama,
kita terus berharap ada ruang pembebasan dari praktek bodoh yang terjadi.
x
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment