25 March 2018

Muslim Tidak Tunggal

~~ M. Syafi'ie

Saya berdiskusi dengan banyak teman di pergerakan Islam, dan umumnya mengatakan bahwa mereka merindukan persatuan umat dan pergerakan Islam.
Saya sempat memikirkannya cukup lama, sampai saya memahami bahwa umat Islam tidak mungkin disatukan dalam arti ditunggalkan. Umat Islam sesuai latar geografis, madzhab, ragam organisasi, afiliasi ideologi, dan seterusnya tak mungkin disatukan. Kalau hendak diperjuangkan, sebenarnya bisa tapi pada level yang prinsipil dan common sense. Ruhnya adalah persaudaraan seiman.



Saya termasuk muslim yang beruntung karena bisa berinteraksi dan bersahabat dengan ragam kelompok di internal Islam. Saya sendiri dibesarkan dalam lingkungan nahdiyyin : biasa dengan tahlil, qunut, ziarah kubur, sholawatan, dan moderat. Beranjak remaja, saya mondok di pesantren jaringan nahdiyyin yang memang mengembangkan cara berfikir tawassuth (sikap tengah-tengah), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan i'tidal (tegak lurus).
x


Interaksi dengan yang beragam dimulai saat saya kuliah di Jogja. Di tempat ini saya berkawan dengan teman yang tak pernah tahlil, tak pernah qunut dan bahkan sebagian besar mengharamkan ziarah kubur. Lebih jauh saya berinteraksi dengan beberapa orang yang levelnya sudah menyebut negara sebagai thoqut, dan biasa berperang di Afganistan, Poso, Filipina dan beberapa daerah konflik. Saya juga berinteraksi dengan teman yang Ahmadiyah, Syi'ah, kejawen dan penganut kepercayaan.
Di tengah perjumpaan itu, saya mulai mengerti betapa beragamnya umat Islam. Di antara satu dengan yang lain berbeda-beda pandangan, kelompok dan madzhab. Lalu apakah saya berubah? Saya tetap nahdiyyin : tetap qunutan, tahlilan, berpandangan moderat, sholawatan, dan biasa ziarah kubur. Mungkin karena diajarkan pandangan tawassuth dan tasamuh di pesantren, saya pun biasa menghormati dan bersahabat dengan teman-teman yang berbeda agama dan keyakinan.

0 comments:

Post a Comment