06 May 2019

Isra’ Mi’raj : Kisah Historis dalam Al-Qur’an

~~ M. Syafi'ie


Al-Qur'an itu mutiara. Kita bisa belajar pada setiap kata, diksi dan kalimat-kalimatnya yang puitis. Lebih jauh, kita akan menemukan banyak pesan yang kita bisa gali dan bisa menjadi pelajaran. Apa saja isi Al-Qur'an itu? Secara umum kita akan menemukan pelajaran soal akhlak, aqidah, ibadah, muamalah (hubungan sosial), ilmu, dan kisah-kisah yang bisa dilacak secara historis dan keilmuan.
Salah satu kisah yang ada dalam Al-Qur'an ialah peristiwa Isra' mi'raj. Peristiwa ini terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dimana saat itu Nabi Muhammad dijemput malaikat Jibril dan Buraq untuk melakukan Isra dari Masjidilharam Mekkah ke Masjid Aqsa Palestina, dan Mi’raj dengan naik ke Sidratul Muntaha  untuk bertemu Allah dan menerima perintah sholat.


 Isra’ sendiri merupakan perjalanan dari Mekkah ke Yarussalem Palesina, jaraknya sekitar 1,507.9 kilometer. Konon sebelum sampai ke Baitul Magdis, malaikat Jibril membawa Rasulullah singgah ke Madinah, Bukit Thursina dan Bethlehem. Sedangkan dalam mi’raj, perjalanan menuju Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad bertemu dengan para Nabi terdahulu, yaitu Nabi Adam, nabi Isa, Nabi Yusuf, Nabi Idris, Nabi Harun, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim. Setelah langit ke tujuh bertemu Nabi Ibrahim, kemudian Rosulullah ke Bait-Ul Ma’mur –disini 70 ribu malaikut shalat setiap harinya—dan kemudian ke Sidratul Muntaha di mana Rasulullah bertemu Allah dan menerima perintah sholat yang bersifat wajib.
Selama perjalanan Rasulullah dikisahkan juga melihat dan bertemu dengan beberapa golongan, diantaranya, pertama, Nabi melihat golongan yang sering memanen tanaman yang baru ia tanam. Setelah dipanen, tanaman itu tumbuh kembali. Golongan ini ibarat orang-orang yang gemar bersedekah. Kedua, Nabi mencium bau harum. Ketika ditanya kepada Malaikat Jibril, bau tersebut berasal dari keluarga besar Masyitah yang dimasak hidup-hidup oleh Firaun. Golongan ini dinilai sebagai golongan yang senantiasa berpegang teguh kepada agama Allah SWT. Ketiga, Nabi melihat sekelompok orang yang kepalanya pecah, lalu utuh dan pecah kembali. Golongan disematkan kepada kelompok yang malas mengerjakan sholat fardhu. Keempat, Nabi melihat beberapa orang yang memakan pohon dhari’ (pohon kering berduri), Zaqqum (tumbuhan yang berasa pahit) dan batu yang panas. Golongan ini disematkan kepada orang-orang yang tidak mau bersedekah. Kelima, Nabi melihat orang-orang pemakan harta yang diibaratkan orang yang berenang di sungai penuh darah. Keenam, Nabi melihat orang yang memikul kayu bakar di pundaknya. Golongan ini diibaratkan orang yang rakus jabatan. Ketujuh, Nabi melihat golongan orang yang berkuku panjang dan terbuat dari tembaga. Merka mencakar muka dengan kuku tersebut. golongan ini menurut Jibril adalah orang-orang para pengumpat.

Al-Qur’an dan Pengilmuan Isra’ Mi’raj
Peristiwa Isra’ Mi’raj diceritakan dengan sangat indah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ : 1 dan Surat An-Najm : 13-18.[1] Menelaah redaksi Al-Qur’an utamanya surat Al-Isra’ ayat 1, kita akan menemukan banyak pesan, yang paling terbaca ialah terkait keagungan dan kesucian Allah SWT yang memiliki kekuasaan tidak terbatas dengan memperjalankan hamba terkasih-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW ke tempat/ruang yang terlihat mustahil dalam pikiran terbatas umat manusia. Surat Al-Isra  meperlihatkan kepada kita bahwa Allah SWT adalah Maha Suci, Tidak Terbatas, Maha Kuasa, sedangkan seorang hamba adalah Terbatas, Dikuasai, dan Diperjalankan oleh Dzat Yang Tidak Terbatas.
Terkait obyektifitas peristiwa Isra' Mi'raj ini, ulama memiliki tiga pandangan yang relatif berbeda, pertama, Isra’ Mi’raj Nabi dinilai merupakan perjalanan fisik dan dapat dibenarkan menurut pendekatan pengetahuan  astronomi dan teori relativitas. Salah satu tokoh penting yang mengulas tentang hal ini adalah Fakruddin Al-Razi. Kedua, Isra' Mi'raj adalah perjalanan spritual Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini banyak dikemukakan oleh kaum sufi. Tokoh sufi seperti Suhrawardi (syekh Al-Isyraq), Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Robert Frager, dan yang lain sudah biasa menjelaskan tentang perjalanan spiritualitas, dan pengalaman berinteraksi dengan Allah SWT, Dzat Yang Meliputi Segala Sesuatu (Al-Muhith)  Ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa Isra' merupakan perjalanan dari Mekkah ke Masjid Al-Aqsa dengan jasad, sedangkan Mi'raj ialah perjalanan Nabi Muhammad ke langit dengan ruh.
Secara keilmuan, peristiwa historis Isra’ Mi’raj memang bisa dilacak dari pendekatan yang yang tidak tunggal dan semuanya dapat dibenarkan. Terpenting bagi orang Islam wajib untuk mempercayainya. Salah seorang pakar ilmu fisika Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof. Husen Alatas mengatakan, peristiwa Isra’ dari Mekkah ke Palestina adalah fenomena yang bisa dijelaskan secara teknologi yang ada saat ini. Seseorang bisa melakukan perjalanan dari satu posisi ke posisi yang lain dalam waktu yang singkat. Teknologi modern yang digunakan saat ini namanya pesawat, perjalanan Nabi Muhammad menggunakan sarana yang dinamai dengan Buroq.
Sedangkan peristiwa Mi’raj merupakan perjalanan Nabi Muhammad menemui Allah SWT di Sidratul Muntaha. Spekulasi yang muncul, apakah perjalanan tersebut dengan jasad atau hanya perjalanan yang bersifat ruhiyah atau immaterial? Menurut Prof Husin, keduanya sangat mungkin. Perjalanan dengan jasad sangat mungkin karena dapat dibenarkan menurut relatifitas dan fisika partikel. Menurutnya, ada prinsip kesetaraan energi dan materi, bahwa secara prinsip materi bisa berubah jadi energy dan sebaliknya. Saat berubah jadi energi, ia punya kecepatan cahaya. Saat ini juga berkembang teori dimensi ekstra. Jarak titik A ke titik B sangat jauh. Tapi ada jalan tikus yang memungkinkan perjalanan sangat singkat. Jalan tikus inilah yang disebut dimensi ekstra yang menyebabkan perjalanan menjadi lebih cepat.
Penjelasan di atas dapat memberi kita kesadaran bahwa Isra’ Mi’raj adalah peristiwa historis yang masuk akal dan memperlihatkan betapa Al-Qur’an sangat selaras dengan pengetahuan. Jauh sebelum teori-teori baru muncul, mayoritas ulama telah bersepakat bahwa jasad dan ruh Nabi Muhammad mengalami perjalanan malam (Isra’) dalam keadaan sadar, dan bukan mimpi seperti yang diungkap orang-orang dimasanya. Secara bahasa, kata ‘abd  dalam Surat Al-Isra’ yang berarti seorang hamba, sebagian besar Ulama memaknainya sebagai seorang manusia yang utuh.

Hikmah
Ada banyak hikmah yang kita bisa petik dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, baik dalam konteks keilmuan -- astronomi, teori relatifitas, teori dimensi ekstra, dan lain-lain—yang secara umut bersifat pencarian materil, dan  atau pun terkait dengan dunia spritualitas, di mana setiap orang sedang mencoba mengenali dirinya, mencari tujuan hidupnya, mencari ketersambungan pada dimensi yang melebih diri sendiri, dan mencoba terus menerus memahami pesan Dzat yang melebihi diri sendiri.
Salah satu laku spritualitas yang muncul dalam peritiwa Isra’ Mi’raj adalah perintah sholat lima waktu. Awalnya Rasulullah menerima perintah sholat 50 waktu, tetapi kemudian diperingan menjadi 5 waktu dalam satu hari saatu malam. Pemberian keringanan ini bersifat istimewa, dan merupakan petanda betapa besar kasih sayang Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Perintah sholat ini bersifat istimewa karena perintahnya langsung didapatkan dari Allah SWT, berbeda dengan beberapa perintah yang lain yang datangnya melalui perantara malaikat Jibril. Sholat juga bermakna istimewa, pertama, sholat kata Rasulullah adalah tiang agama, dan barang siapa yang merobohkannya maka seperti merobohkan agama. Kedua, sholat merupakan pembeda iman seseorang. Kedua, sholat akan menjadi amal yang akan dihisab pertama oleh Allah SWT. Keempat, sholat bagi Rosulullah menjadi solusi awal ketika mendapat sebuah kesulitan. Sholat adalah media yang menggembirakan dan menyenangkan. Kelima, sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (Qs. Al-Ankabut : 45)
Hikmah setelah kita memperingati Isra’ Mi’raj ini adalah agar kita lebih serius dalam malaksanakan sholat. Nabi Muhammad SAW, bersabda : "Sholat adalah mi'raj orang beriman." Lewat media sholat, kita mengingat Allah, belajar berinteraksi dengan Allah, merenungi pesan-pesan-Nya yang mulia, dan terus belajar menjadi orang yang lebih baik  dari waktu ke waktu.      


[1] Dalam Surat An-Najm dikatakan .”Demi bintang ketika terbenam (1), kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru (2) dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keingiannaya (3) Tidak lain (Al-Qur’an) asdalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (4), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (5) …… Maka, apakah kamu (musyrikin Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu (13), Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain (13), di Sidratil Muntaha (14), di dekatnya ada surga tempat tinggal (15), (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya (16), Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya (17), Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar (18)

0 comments:

Post a Comment