~~ M. Syafi'ie
11 April 2019
Feminisme, Islam dan HAM
Thursday, April 11, 2019
No comments
Mendiskusikan feminisme selalu akan diawali dengan
pembahasan tentang gender. Apa makna keduanya? Gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin (sex).
Dalam perkembangan, gender dan jenis kelamin dimaknai secara berbeda. Jenis
kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata.
Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif.
Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif,
mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam
praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja
laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan
perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat
Feminisme lebih progresif lagi, di mana paham ini tidak
hanya berisi kritik terhadap sistem patriarkhi, tetapi lebih pada pengakuan dan sikap yang bersifat positif atas kebutuhan kaum perempuan
sebagai sebuah kelompok. Dalam hal ini, feminisme
bisa didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan yang
tidak adil. Gerakan feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan
dari dominasi laki-laki (Fadlan, 2011).
Sebagai satu respon pada ‘keyakinan bahwa terjadi
diskriminasi serius’ benarkah kaum perempuan selama ini diberlakukan tidak
adil? Dalam satu studi dikatakan, di banyak negara, termasuk di negara-negara
Islam, perempuan secara umum mengalami peminggiran.
Di banyak negara, tidak ada jaminan kesetaraan laki-laki dan perempuan di
berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan hukum. Di beberapa tempat,
perempuan dibatasi hak kepemilikan tanah, mengelola property dan bisnis. Di
kawasan sub Sahara Afrika sebagian besar perempuan memperolah hak atas tanah
melalui suami atas dasar perkawinan dan hak tersebut hilang saat terjadi
perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang
digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki.
Jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan hanya
2/3 dari jumlah anak laki-laki. Di negara-negara berkembang, wirausaha yang
dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kalah dengan wirausaha yang dikelola
laki-laki (Sukron Kamil, 2007)
Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan tidak kalah
genting. Komnas Perempuan dalam catatan tahun 2018 menyatakan bahwa terjadi
tren kekerasan dari tahun ke tahun, misal tahun 2015 yang berjumlah 321.752
kasus, tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi
346.446 kasus. Bentuk kekerasannya berupa kekerasan ekonomi, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi pekerja migran, dan trafficking.
Spektrumnya berupa kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup
penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, perseksusi online
dan offline, maraknya situs dan aplikasi online berkedok agama (misal,
ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman perempuan dengan Undang-Undang ITE,
serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh
perempuan di dunia maya.
Merujuk pada
Islam dan HAM
Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki
ajaran yang membebaskan. Seperti yang diulas oleh banyak sejarawan, betapa posisi perempuan di masa pra Islam
begitu lemah, tidak berharga, dianggap aib, orang tua marah saat mengetahui
memiliki anak perempuan, dan selalu
berada di bawah subordinasi laki-laki. Setelah Islam datang, posisi perempuan
terangkat, dihargai, dan diletakkan sebagai seorang manusia yang bermartabat.
Pada waktu itu, perempuan bisa mendapatkan hak waris, bisa menjadi saksi, dan
muncul beberapa doktrin agama yang begitu menghargai perempuan seperti surga
berada di telapak kaki ibu, orang tua perempuan adalah orang yang paling layak
dihormati dibanding dengan orang tua laki, perempuan adalah tiang agama,
perempuan tiang negara dan seterunsya.
Dalam ajaran Islam, kita akan sangat mudah menemukan
bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi secara ideal. Terkait
hal tersebut, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa banyak
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan doktrin kesetaraan gender. Pertama, prinsip
kesetaraan gender merujuk pada realitas laki-laki dan perempuan dalam
hubunannya dengan Tuhan, dimana keduanya sama-sama dilihat sebagai seorang
hamba. Tugas seorang hamba adalah mengabdi dan menyembah. Dalam hal ini bisa
dipahami dari firman Allah, “Dan tidaklah
Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (Qs. Al-Dzariyat
: 56). Kapasitas sebagai manusia, laki-laki dan perempuan juga sama, nilai
derajatnya sama, yang membedakan kemuliaan seseorang hanya ketaqwaannya (Qs.
Al-Hujurot : 13).
Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai
khalifah. Firman Allah, “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi..(Qs. Al-Baqoroh : 30).
Ayat ini menurut Nasaruddin Umar tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu.
Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan
mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di muka
bumi.
Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan
menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum
diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat
adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus
menerima perjanjian dengan tuhannya (Qs. Al-A’raf : 172)
Keempat, kesetaraan gender dalam al-Qur’an dapat dilihat dari
fakta bahwa antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat
dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, harus
turun ke muka bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang dimainkan keduanya.
(Qs. Al-A’raf : 22)
Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun
perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya. Seperti firman
Allah, “Barang siapa yang mengerjakan
amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.. “ (Qs.
An-Nahl : 97)
Berdasar uraian tersebut, dapat
dikatakan bahwa Islam memberikan pesan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, bagaimana saat
kita ketemu dengan pesan Qur’an dan Hadist yang secara tidak langsung
melemahkan posisi perempuan? Quraish Shihab menyatakan bahwa ada beberapa teks yang tercantum dalam Qur’an dan Hadist yang cenderung disalahpahami makna, pesan dan konteksnya. Karena itu,
diperlukan bagi ‘seorang pembaca’ untuk memahami dengan baik dan benar dari
sebuah ucapan atau redaksi. Menurut Quraish Shihab, pertama, memahami sebuah pesan tidak cukup dengan teks, tetapi
penting untuk memahami konteksnya, Qur’an ada asbabun nuzulnya, sedangkan hadist ada asbabul wurudnya. Kedua,
penting bagi pembaca untuk memahami kosa kota yang ada. Ketiga, melihat secara umum tuntunan
Islam yang menyangkut tema-tema tertentu yang berpolemik,
yang
salah satunya terkait dengan persoalan gender.
Salah satu contoh pesan hadist yang
sering disalahdipahami menurut Quraish Shihab ialah, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang
sujud kepada seorang, niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya (HR.
AT-Tirmidzi). Hadist ini disahalahpahami bahwa istri harus sepenuhnya patuh
kepada suaminya, di mana level kepatuhannya menjadikan seorang perempuan
lebur pada kepribadian suami sehingga tidak lagi memiliki hak menolak atau
membantah. Ternyata, konteks (asbabul wurud) hadist ini
tidak demikian. Diceritakan bahwa sahabat Nabi
Mu’adz bin Jabal ketika kembali dari Syam dan menghadap nabi SAW, sang sahabat
tersebut sujud kepada Nabi. Lalu Nabi bertanya, “apa ini wahai Mu’adz? Muadz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam, dan kulihat mereka sujud kepada para
rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Disinilah
Nabi SAW melarangnya hal demikian dengan bersabda, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang
sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada
suaminya” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Dengan demikian, penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa
ajaran Islam sangat mendukung terhadap gerakan gender
dan feminisme yang secara umum menuntut perlakuan yang adil antara laki-laki
dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Dalam hal ini, ukuran posisi
terbaik laki-laki dan perempuan semestinya dinilai dari kompetensi, prestasi,
dan kemampuan terbaiknya, serta tidak lagi didasarkan pada semangat yang
sekedar status sosial berdasarkan jenis kelamin.
Lebih jauh, ajaran Islam menurut penulis sangat
kompatibel dengan norma-norma hukum HAM yang menjamin hak-hak kaum perempuan,
diantaranya ialah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Konvensi ini kita ketahui memiliki tiga prinsip penting, yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip persamaan
(keadilan substantif), dan prinsip kewajiban negara. Secara normatif konvensi
ini menjamin hak sipil dan politik perempuan (hak memilih dan dipilih, hak
berpartisipasi, hak memegang jabatan dalam pemerintahan, hak kewarganegaraan,
dan seterunsya), menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas pendidikan,
hak kerja, hak kesehatan, dan seterusnya), hak persamaan di depan hukum, dan
ada mekanisme pelaporan dan pemantauan terkait dengan pemenuhan hak-hak kaum
perempuan.
Cukup banyak aturan dan kerjasama yang secara langsung dan tidak langsung
saat ini muncul sebagai bagian untuk melindungi hak-hak perempuan, diantaranya Undang-Undang
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mou Komnas Perempuan dan LPSK
terkait Perlindungan Saksi dan Korban untuk Kasus-Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan, Penanganan Terpadu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Peraturan
Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan
dengan Hukum, dan beberapa yang lain. Secara umum, norma hukum dan kesepakatan-kesepakatan
tersebut akan mencegah kaum perempuan menjadi korban ketidakadilan sosial.
Terbit di Koran Sindo, Kamis 11 April 2019
x
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment