~~ M. Syafi'ie
Beberapa minggu yang lalu terjadi
kegaduhan di masyarakat terkait sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB). Sistem ini merupakan realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Karena begitu derasnya kritik
orang tua di beberapa tempat, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru dan mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 20 Tahun 2019.
Seperti dilansir banyak media,
permasalahan yang muncul akibat penerapan sistem zonasi, pertama, daya sekolah dan jumlah siswa tidak seimbang di beberapa
tempat. Ada sekolah yang berlebih muridnya, dan ada ada sekolah yang kekurang
murid. Kedua, belum adanya
pertimbangaan yang jelas terkait jumlah anak didik dan keberadaan sekolah di beberapa
tempat. Ketiga, infrastruktur,
fasilitas dan sarana prasarana sekolah belum merata. Keempat, berkurangnya kompetisi antar siswa untuk masuk sekolah
negeri terbaik. Kelima, nilai ujian
nasional tidak penting lagi, karena yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak
rumah atau zonasi peserta didik ke sekolah.
Sedangkan alasan pemerintah dan
dalam banyak hal juga bisa dimengerti, pertama,
sistem zonasi akan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Anak didik
tidak perlu sekolah jauh dari rumahnya. Kedua,
akses pendidikan akan lebih merata. Ketiga,
kondisi kelas yang heterogen sehingga akan mendorong siswa untuk bekerjasama di
level yang berbasis lokal. Keempat, sistem
zonasi akan mengurangi praktik jual beli kursi. Kelima, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru. Keenam, memudahkan identifikasi persoalan
sistem pendidikan sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Berpijak pada plus minus dan
polemik sistem zonasi, satu hal yang juga mesti dipikirkan oleh pemangku
kebijakan adalah nasib anak-anak difabel yang hingga saat ini masih banyak
ditolak ketika mendaftar di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk
sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan. Padahal, secara zonasi, tempat
tinggal anak difabel tersebut dekat dengan sekolah umum di daerahnya.
Pertanyaannya, apakah sistem
zonasi saat ini akan memberi akses bagi anak difabel untuk sekolah di dekat
rumahnya dan secara otomatis sekolah tersebut menjadi sebuah sekolah inklusi?
Atau, kondisinya masih sama dengan kisah pilu terdahulu, di mana anak-anak
difabel tetap akan mengalami kesulitan saat mendaftar di sekolah umum dan orang
tua difabel akan kesulitan kembali untuk antar jemput anaknya yang difabel
karena akses sekolah yang jauh. Dalam banyak hal, anak-anak difabel tidak bisa
bersekolah karena adanya hambatan-hambatan struktural yang secara langsung dan
tidak langsung memutus hak-hak anak difabel atas di dunia pendidikan.
Ketentuan
Sistem Zonasi
Dalam Permendikbud No. 51 Tahun
2018 dinyatakan bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, pertama, jalur zonasi, paling sedikit
90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi, paling banyak 5% (lima persen) dari daya
tampung sekolah. Ketiga, jalur
perpindahan tugas orang tua/wali, paling banyak 5% (lima persen) dari daya
tampung sekolah.
Dalam peraturan terbaru,
Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun
2018 dinyatakan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 % (delapan puluh persen)
dari tampung sekolah. Kedua, jalur
prestasi paling banyak 15% (lima belas persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang
tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Peraturan
terbaru dengan demikian tidak banyak mengubah ketentuan pilihan sistem zonasi,
hanya sedikit mengubah besaran persentasi penerimaan siswa lewat sistem zonasi
dan jalur prestasi.
Bagaimana dengan penerimaan anak
didik difabel? Dalam peraturan dinyatakan bahwa kuota dalam jalur zonasi
termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu; dan/atau anak difabel pada sekolah
yang menyelenggarakan layanan inklusif. Bahkan dengan alasan yang kurang jelas,
Permendikbud akan memberi sanksi berupa pengeluaran bagi orang tua/wali yang
terbukti memalsukan keadaaan sehingga seolah-olah peserta didik merupakan
seorang anak difabel. Hal ini dalam banyak hal akan membuat takut orang tua,
utamanya dari kalangan kaum miskin dan orang tua anak difabel.
Membaca ketentuan Permedikbud
terlihat jelas bahwa anak didik difabel tidak cukup mendapatkan afirmasi dalam
ketentuan sistem zonasi yang tujuannya notabene
ingin mendorong akses layanan pendidikan. Dalam peraturan hanya terbaca anak
didik difabel diterima sesuai kuota zonasi jika tersedia sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal, keberadaan sekolah inklusif saat
ini masih menjadi catatan sangat serius di berbagai daerah di Indonesia, baik
ketersediaan sekolahnya dan atau pun problem ketersediaan guru pendamping dan
sarana prasarana yang belum aksesibel.
Pesan Bagi
Pemangku Kebijakan
Dalam beberapa forum, keberadaan
sistem zonasi sangat diharapkan akan menciptakan akses pendidikan yang lebih
adil bagi anak-anak difabel. Selama ini, banyak anak didik difabel ditolak
ketika mendaftar di sekolah dekat rumah tinggalnya. Pihak sekolah dengan
alasan-alasan yang beragam biasanya menolak pendaftaran anak didik difabel dan
mengarahkan agar mendaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jaraknya di banyak
tempat ternyata jauh dari tempat tinggal anak didik difabel.
Penolakan anak difabel di sekolah
secara umum bertentangan dengan hukum. Pada Pasal 5 huruf e Undang-Undang No. 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa difabel memiliki hak
atas pendidikan. Pada Pasal 10 huruf b dinyatakan bahwa hak pendidikan untuk
difabel termasuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi peserta didik atau
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan. Terkait dengan sistem zonasi, Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang
disabilitas juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak difabel
untuk bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Zonasi menjadi
pertimbangan utama bagi anak didik difabel.
.Berangkat dari kegaduhan sistem
zonasi dan problem akut yang menimpa anak didik difabel, besar harapan untuk pemangku
kebijakan khususnya pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
agar melakukan evaluasi ulang terhadap tata kelola pendidikan bagi anak-anak
difabel. Sistem zonasi lebih jauh harapannya akan menjadi media yang akan membuka
ruang terciptanya pendidikan inklusi, akses pendidikan yang lebih manusiawi, dan
berharap anak-anak difabel tidak lagi termarginalkan.
0 comments:
Post a Comment