04 July 2019

Zonasi dan Nasib Anak Difabel

~~ M. Syafi'ie


Beberapa minggu yang lalu terjadi kegaduhan di masyarakat terkait sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sistem ini merupakan realisasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Karena begitu derasnya kritik orang tua di beberapa tempat, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru dan mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2019.



Seperti dilansir banyak media, permasalahan yang muncul akibat penerapan sistem zonasi, pertama, daya sekolah dan jumlah siswa tidak seimbang di beberapa tempat. Ada sekolah yang berlebih muridnya, dan ada ada sekolah yang kekurang murid. Kedua, belum adanya pertimbangaan yang jelas terkait jumlah anak didik dan keberadaan sekolah di beberapa tempat. Ketiga, infrastruktur, fasilitas dan sarana prasarana sekolah belum merata. Keempat, berkurangnya kompetisi antar siswa untuk masuk sekolah negeri terbaik. Kelima, nilai ujian nasional tidak penting lagi, karena yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak rumah atau zonasi peserta didik ke sekolah.
Sedangkan alasan pemerintah dan dalam banyak hal juga bisa dimengerti, pertama, sistem zonasi akan mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Anak didik tidak perlu sekolah jauh dari rumahnya. Kedua, akses pendidikan akan lebih merata. Ketiga, kondisi kelas yang heterogen sehingga akan mendorong siswa untuk bekerjasama di level yang berbasis lokal. Keempat, sistem zonasi akan mengurangi praktik jual beli kursi. Kelima, memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru. Keenam, memudahkan identifikasi persoalan sistem pendidikan sebagai dasar intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berpijak pada plus minus dan polemik sistem zonasi, satu hal yang juga mesti dipikirkan oleh pemangku kebijakan adalah nasib anak-anak difabel yang hingga saat ini masih banyak ditolak ketika mendaftar di sekolah umum dan selalu diarahkan agar masuk sekolah luar biasa di semua jenjang pendidikan. Padahal, secara zonasi, tempat tinggal anak difabel tersebut dekat dengan sekolah umum di daerahnya.
Pertanyaannya, apakah sistem zonasi saat ini akan memberi akses bagi anak difabel untuk sekolah di dekat rumahnya dan secara otomatis sekolah tersebut menjadi sebuah sekolah inklusi? Atau, kondisinya masih sama dengan kisah pilu terdahulu, di mana anak-anak difabel tetap akan mengalami kesulitan saat mendaftar di sekolah umum dan orang tua difabel akan kesulitan kembali untuk antar jemput anaknya yang difabel karena akses sekolah yang jauh. Dalam banyak hal, anak-anak difabel tidak bisa bersekolah karena adanya hambatan-hambatan struktural yang secara langsung dan tidak langsung memutus hak-hak anak difabel atas di dunia pendidikan.

Ketentuan Sistem Zonasi
Dalam Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, pertama, jalur zonasi, paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah.
Dalam peraturan terbaru, Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 51 Tahun 2018 dinyatakan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 % (delapan puluh persen) dari tampung sekolah. Kedua, jalur prestasi paling banyak 15% (lima belas persen) dari daya tampung sekolah. Ketiga, jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung sekolah. Peraturan terbaru dengan demikian tidak banyak mengubah ketentuan pilihan sistem zonasi, hanya sedikit mengubah besaran persentasi penerimaan siswa lewat sistem zonasi dan jalur prestasi.
Bagaimana dengan penerimaan anak didik difabel? Dalam peraturan dinyatakan bahwa kuota dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik tidak mampu; dan/atau anak difabel pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Bahkan dengan alasan yang kurang jelas, Permendikbud akan memberi sanksi berupa pengeluaran bagi orang tua/wali yang terbukti memalsukan keadaaan sehingga seolah-olah peserta didik merupakan seorang anak difabel. Hal ini dalam banyak hal akan membuat takut orang tua, utamanya dari kalangan kaum miskin dan orang tua anak difabel.
Membaca ketentuan Permedikbud terlihat jelas bahwa anak didik difabel tidak cukup mendapatkan afirmasi dalam ketentuan sistem zonasi yang tujuannya notabene ingin mendorong akses layanan pendidikan. Dalam peraturan hanya terbaca anak didik difabel diterima sesuai kuota zonasi jika tersedia sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Padahal, keberadaan sekolah inklusif saat ini masih menjadi catatan sangat serius di berbagai daerah di Indonesia, baik ketersediaan sekolahnya dan atau pun problem ketersediaan guru pendamping dan sarana prasarana yang belum aksesibel.

Pesan Bagi Pemangku Kebijakan
Dalam beberapa forum, keberadaan sistem zonasi sangat diharapkan akan menciptakan akses pendidikan yang lebih adil bagi anak-anak difabel. Selama ini, banyak anak didik difabel ditolak ketika mendaftar di sekolah dekat rumah tinggalnya. Pihak sekolah dengan alasan-alasan yang beragam biasanya menolak pendaftaran anak didik difabel dan mengarahkan agar mendaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jaraknya di banyak tempat ternyata jauh dari tempat tinggal anak didik difabel.
Penolakan anak difabel di sekolah secara umum bertentangan dengan hukum. Pada Pasal 5 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa difabel memiliki hak atas pendidikan. Pada Pasal 10 huruf b dinyatakan bahwa hak pendidikan untuk difabel termasuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi peserta didik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Terkait dengan sistem zonasi, Pasal 40 ayat (4) Undang-Undang disabilitas juga menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak difabel untuk bersekolah di lokasi yang dekat tempat tinggalnya. Zonasi menjadi pertimbangan utama bagi anak didik difabel.
.Berangkat dari kegaduhan sistem zonasi dan problem akut yang menimpa anak didik difabel, besar harapan untuk pemangku kebijakan khususnya pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar melakukan evaluasi ulang terhadap tata kelola pendidikan bagi anak-anak difabel. Sistem zonasi lebih jauh harapannya akan menjadi media yang akan membuka ruang terciptanya pendidikan inklusi, akses pendidikan yang lebih manusiawi, dan berharap anak-anak difabel tidak lagi termarginalkan.

Terbit di : https://www.solider.id/ pada 4 Juli 2019

0 comments:

Post a Comment