~~ M. Syafi'ie
Pemilihan umum serentak
sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi
hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD),
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia
ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam
kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi
pemungutan suara.
Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi
Difabel (SIGAB) melakukan monitoring
pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan
ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu
terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas
yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang
berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu
pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan
rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke
lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat
selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak
terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa
sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di
bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan
tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan
tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi
pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.
Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum
jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu
sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu
mengajukan judicial review Pasal 142
ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya
mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel
netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2)
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif.
Tidak dipenuhinya template
braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak
pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi
tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji
materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum
memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih
belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan
warga difabel.
Pemilu Saat ini
Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah
lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal
356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas
fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya
di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat
(2) berbunyi, “Orang lain yang membantu
Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang
mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.
Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas
memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami
bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan
norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang
tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam
pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai
dengan pendekatan human rights yang
diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun
2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017,
beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU)
untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu
sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena
itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal
KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel.
Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun
ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan
pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan
aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi
semua orang, salah satunya bagi warga difabel.
Mengenali Hambatan
Memenuhi hak pilih
difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan
difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang
mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan
berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari
hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu
diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus
didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak
atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan
penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada
umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi (Terbit di Koran Harian Sindo, 18 Maret 2019)
x
0 comments:
Post a Comment