15 May 2018

Artidjo Alkostar

~~ M. Syafi'ie
Siapa yang tak kenal dengan beliau. Sosok hakim fenomenal dengan putusan-putusannya. Saya termasuk yang beruntung bisa menjadi salah satu mahasiswanya. Pagi tadi ketemu dan akhirnya bisa foto bareng.
Salah satu yang saya ingat dari pak Artidjo, norma hukum menurutnya tidak bisa berdiri sendiri. Formulasi dan katagorisasi dalam norma hukum tersambung dengan asas-asas, dan tersambung lagi dengan nilai yang lebih dalam yakni nilai logis, etis dan estetis (harmoni dan keindahan). Seorang penegak hukum menurutnya tidak bisa berhenti di level norma yang pasti akan tergerus zaman, tetapi harus mampu menggali nilai tertinggi dalam sebuah konstruksi norma. Putusan hukum baginya mesti diletakkan dalam spirit yang terhubung dengan semangat ideal dan kehidupan komunitas manusia.


Di tengah gagasannya yang bernas tentang hukum, Pak Artidjo termasuk pribadi yang pelit diajak bicara. Suatu saat, kami berada di lokasi pelatihan hakim di Jakarta. Saya yang saat itu didapuk menjadi penerima tamu mencoba mengajaknya bicara, tapi setiap pertanyaan saya dijawabnya dengan sangat singkat. Juga tanpa bumbu tawa, walaupun saya mengajaknya bicara hal-hal yang berbau madura.

Begitulah sedikit perkenalan saya dengan pak Artidjo. Perjumpaan dengan beliau --- di kelas, bertemu di ruang kerjanya di MA saat jadi aktifis mahasiswa, dan bertemu di beberapa forum--- tidak lantas membuat akrab. Apalagi sangat akrab. Beliau selalu menjaga jarak. Mungkin begitulah cara Pak Artidjo menjaga independensinya sebagai seorang hakim.
Di kelas, Pak Artidjo selalu cerita satu hadist, hakim itu ada tiga katanya, dua di neraka dan satu di surga. Pertama, seorang hakim yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka. Kedua, seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Ketiga, seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.
x

0 comments:

Post a Comment