15 May 2018

Bomber Perempuan dan Anak

~~~
Salah satu bomber gereja di Surabaya mengejutkan. Pelakunya seorang ibu, dan ia melibatkan dua anak perempuannya. Suaminya ngebom di gereja sendirian, dan dua anak laki-lakinya beraksi di gereja yang lain.
Melihat perempuan dan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri sungguh tidak lazim. Setahu saya ini baru pertama di Indonesia. Di negara-negara konflik yang lain seperti Afganistan dan Irak, bom bunuh diri perempuan sudah biasa.



Ada beberapa pandangan saya setelah beberapa kali mendengar beberapa perempuan yang suaminya dituduh terlibat terorisme.

Pertama, perempuan hanya di rumah. Salah satu yang biasa saya dengar, kelompok ini selalu menempatkan perempuan berada di posisi nomer dua dalam hubungan suami-istri. Kewajiban nafkah total suami yang bertanggungjawab, istri hanya di rumah, dan para perempuan sepenuhnya taat kepada suami.
Kedua, kesulitan ekonomi. Setelah suami ditangkap dan dihukum, yang dihadapi para perempuan umumnya akses ekonomi. Bekerja di luar sangat sulit dan biasanya harus kesana kemari, diantaranya berhutang karena harus membiayai suaminya yang ada dipenjara.
Ketiga, orang tua perempuan sangat berat membiayai anak-anaknya di sekolah. Umumnya mereka punya banyak anak. Ironisnya lagi, tidak semua sekolah mau menerima anak yang orang tuanya tertuduh teroris. Kesedihan perihal anak yang banyak tertumpu pada pikiran sosok perempuan.
Keempat, istri tertuduh teroris, umumnya menyimpan 'kisah tragis' terkait segala perlakuan aparat negara kepada suaminya. Kisah kekerasan, penyiksaan dan perlakuan yang tidak layak, semua tersimpan dalam memori para perempuan ini. Banyak kisah tragis ia ceritakan kepada anak-anaknya yang masih kecil dan ada yang beranjak dewasa. Tentu, ada dendam yang menguat dan semakin mempertebal keyakinan mereka bahwa 'negara' adalah thoqut.
Kelima, cerita tragis perlakuan aparat, seiring dengan sikap masyarakat yang mencemooh terhadap para perempuan dan anak-anak yang lahir di keluarga ini. Kondisi ini semakin mempertebal keterkucilan dan ekslusifitas mereka hidup di dunia.
Keenam, sebagian perempuan istri tertuduh teroris, kecewa dan menggugat cerai suaminya. Ada suaminya yang menikah tanpa idzin, suka marah, dan berprilaku tidak adil kepada istrinya. Frustasi bertumpu pada perempuan.
Dari cerita di atas, saya cenderung melihat perempuan dan anak-anak di kelompok ini sebagai korban yang berlipat-lipat. Perempuan dan anak-anak berada dalam situasi tidak berdaya di tengah himpitan ketidakadilan gender, doktrin yang tertutup, rapuhnya sistem keluarga, sikap negara, dan sistem sosial.
Dari segala situasi yang memprihatinkan di sana sini, pemerintah khususnya wajib memikirkan tentang nasib perempuan dan anak-anak pelaku terorisme. Jangan sampai mereka kembali menjadi pelaku teror di masa mendatang.
x

0 comments:

Post a Comment