23 August 2018

Toa dan Meliana

~~ M. Syafi'ie
Di kampung saya, corong, toa dan sound system ada di mana-mana. Ada yang pengajian, ada yang dangdutan, ada yang nyetel kidung ludruk, dan lain-lain. Di antara banyak bunyi, tidak semua saya suka. Pertama, suara satu dengan yang lain saling bertubrukan. Kedua, apa yang diputar tidak sesuai selera saya.


Kadang, saya mangkel mendengar toa atau sound system, pertama, suaranya terlalu memekakkan telinga. Kedua, orang yang menyalakan seperti sok tahu bahwa orang-orang yang mendengar pasti gembira dan akan menerima dengan baik. Ketiga, yang menyalakan sepertinya sangat berhasrat ingin dilihat (riya'), ingin didengar (sum'ah) dan dibicarakan oleh orang lain.
Salah satu contoh : orang kalau ngaji menggunakan speaker senangnya minta ampun. Bisa berjam-jam dan sampai larut malam. Padahal, tanpa speaker ia tidak sesemangat itu. Contoh ini bisa berlaku dalam pertunjukan yang lain, bagi siapa pun : orang suka menyanyi maka ia butuh panggung; orang suka adzan maka ia butuh toa; orang butuh diskusi maka butuh talkshow, dan seterusnya. Prinsipnya orang suka didengar dan diakui eksistensinya di depan publik.
Masalahnya, kalau ada orang terganggu dengan bunyi-bunyian yang dianggap berlebihan itu. Kasus keluhan Meilana salah satunya. Pantaskah ia dipidana melakukan penodaan agama gara-gara mengeluhkan soal suara toa? Bukankah itu hanya hak berpendapat, sama seperti semua orang pada umumnya bahwa ia terganggu dengan suara bising? Bukankah asas hukum pidana itu salah satunya ultimum remendium (upaya terakhir)? Saya menilai putusan hakim itu berlebihan, dan sekali lagi tidak menjawab masalah sosial.

0 comments:

Post a Comment