31 October 2018

Hak atas Informasi Penyandang Disabilitas


~~ M. Syafi'ie

Penyandang disabilitas, juga dikenal sebagai penyandang difabel yang notabene singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan.[1] Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.
Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya.[2]

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.[3]
Pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 8 tahun 2016, terdapat lima ragam penyandang disabilitas, pertama, penyandang disabilitas fisik ialah terganggunya fungsi gerak. Misal, amputasi; lumpuh layuh atau kaku; paraplegi; Celebral palsy (CP); stroke;  kusta; dan orang kecil. Kedua, penyandang disabilitas intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: slow learner; difabel grahita; dan down syndrom. Ketiga, peyandang disabilitas mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi:  Psikososial (Seperti, skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian); dan difabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (Autis dan Hiperaktif). Keempat, penyandang disabilitas sensorik ialah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, Misal, difabel netra; difabel rungu; dan/atau difabel wicara. Kelima, penyandang disabilitas ganda ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, Misal : difabel rungu-wicara, difabel netra-tuli, difabel daksa dan netra sekaligus
Dalam lingkungan sosial, hambatan-hambatan yang biasa dialami penyandang disabilitas setidaknya ada dua, pertama, aksesibilitas fisik seperti tidak adanya ramp, fasilitas publik yang tidak ada guiding block, tidak disedikanannya informasi braile, video dan audio yang tidak difasilitasi bahasa isyarat,  tidak adanya lift dalam bangunan bertingkat dan seterusnya. Kedua, aksesibilitas non fisik seperti petugas layanan publik dan masyarakat yang tidak memahami cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Dalam konteks bernegara, penyandang disabilitas sebenarnya telah dijamin haknya. Setidaknya Indonesia telah memiliki dua aturan pokok, yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Convention on The Rights of Persons With Disabilities, di mana Indonesia telah meratifikasi pada tanggal 10 November 2011. Dalam kedua aturan tersebut diantur hak-hak penyandang disabilitas, yakni : hak untuk hidup, perlndungan dalam situasi yang penuh resiko dan darurat, pengakuan yang setara di depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi, bebas  untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, ha katas informasi, penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, kebebasan berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitasi dan habilitasi, dan hak atas  pekerjaan.
Problem pemenuhan hak penyandang disablitas semakin kesini semakin tersuarakan. Hal ini tidak terlepas dari data penyandang disabilitas yang relatif besar di dunia.  Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-negara dunia. Di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150. 000 orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa.[4]  Sebelumnya, tahun 2004 penyandang disabilitas  Indonesia diperkirakan sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400 (13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%). Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal dengan keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti asuhan.[5]

Hak Penyandang Disabilitas atas Informas
Hak atas informasi adalah hak semua orang.  Termasuk dalam hal ini adalah penyandang disabilitas. Secara spesifik Pasal 5 ayat 1 huruf t Undang-Undang No. 8 tahun 2016, menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 24 dinyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi meliputi hak (a) memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) mendapatkan informasi dan komunikasi melalui media yang mudah diakses, (c) menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentative dalam interaksi resmi.
Aturan di atas sangat jelas mengatur hak informasi penyadang disabilitas. Namun, dalam prakteknya, penyandang disabilitas tidak mendapatkan haknya. Mengapa? Karena informasi yang selama ini disajikan dalam ruang publik, tidak akses atau bahkan tidak dapat dibaca sama sekali oleh penyandang disabilitas.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, penyandang disabilitas memiliki hambatan-hambatan, diantaranya adalah hambatan penglihatan, pendengaran, wicara dan mobilitas. Dalam konteks ha katas informasi, penyandang disabilitas yang biasa mengalami pelanggaran adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan dan hambatan pendengaran dan wicara.
Bagi penyandang disabilitas yang memiliki hambatan penglihatan, maka informasi media cetak sulit dibaca, bahkan tidak bisa dibaca, karena penyandang disabilitas penglihatan akan bisa membaca dengan media braille atau informasi yang berupa bunyi atau suara. Tidak ada media cetak selama ini yang berbentuk braille, dan sedikit juga media elektronik yang menyajikan informasinya dalam bentuk suara. Penyandang disabilitas pendengaran dan wicara, umumnya mengalamai kesulitan memahami informasi media televisi. Sebagian besar, media televisi belum memfasilitasi penerjemah bahasa isyarat.
Dengan beberapa masalah di atas, sudah selayaknya tata kelola informasi, baik cetak maupun elektronik dibenahi. Komisi Informasi Publik sudah selayaknya mengawal hak atas informasi bagi penyandang disabilitas. Pemerintah yang notabene menjadi pemangku kewajiban pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sudah seharusnya bertanggungjawab atas pelanggaran hak atas informasi yang masih terjadi.



x

[1] Pada dasarnya setiap orang diciptakan secara berbeda-beda, termasuk di antara mereka terlahir dalam kondisi memiliki kekurangan, dan cacat. Secara kodrati mereka lahir sebagai manusia denga fisik yang berbeda-beda. Karena itu, seluruh pelayanan publik, diantaranya ialah architecture bangunan fisik harus memiliki kaitan  untuk membantu kepentingan masyarakat yang memiliki kekurangan berupa cacat fisik seperti buta, lumpuh dan lain sebagainya. Lihat  Architecture for Diferently Abled,  liputan khusus Majalah Sketsa : Majalah Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24 hlm 38.
[2] Lihat Pasal 1 Convention on the Rights of Persons With Disabilities
[3] Bandingkan dengan definisi disabilitas dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4/2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial
[4] Lihat selebaran UCP dan Roda Untuk Kemanusiaan tentang Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas
[5] Data-data ini secara keseluruhan dihimpun dari berbagai laporan seperti PERTUNI, GERGATIN, BPS, dan lembaga lainnya. Secara umum data yang ada dinilai masih belum komprehensif dan akurat karena masing-masing lembaga menggunakan stanadar penilaian yang berbeda-beda. Pendaataan yang buruk tersebut secara tidak langsung berdampak terhadap advokasi yang tepat yang didasarkan pada bukti, kajian kebutuhan, formulasi kebijakan, monitoring kemajuan dan evaluasi.  Lihat Nicola Golbran, Akses Terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas Indonesia : Kajian Latar Belakang, Australian AID, 2010, hlm 29

0 comments:

Post a Comment