~~ M. Syafi'ie
Penyandang
disabilitas, juga dikenal sebagai penyandang difabel yang notabene singkatan
dari bahasa Inggris different ability
people atau diferently abled people,
yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan.
Istilah lainnya ialah differently able,
yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.
Dalam
Convention on the Rights of Persons with
Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas,
yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau
sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan
dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan
kesetaraan dengan lainnya.
Dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, penyandang disabilitas
didefinisikan sebagai setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 8
tahun 2016, terdapat lima ragam penyandang disabilitas, pertama,
penyandang disabilitas fisik ialah terganggunya fungsi gerak. Misal,
amputasi; lumpuh layuh atau kaku; paraplegi; Celebral palsy
(CP); stroke; kusta; dan orang kecil. Kedua, penyandang
disabilitas intelektual ialah terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: slow
learner; difabel grahita; dan down syndrom. Ketiga, peyandang
disabilitas mental ialah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan
perilaku yang meliputi: Psikososial (Seperti, skizofrenia, bipolar,
depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian); dan difabilitas perkembangan
yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial (Autis dan Hiperaktif).
Keempat, penyandang disabilitas sensorik ialah terganggunya salah satu
fungsi dari panca indera, Misal, difabel netra; difabel rungu;
dan/atau difabel wicara. Kelima, penyandang disabilitas
ganda ialah difabel yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas,
Misal : difabel rungu-wicara, difabel netra-tuli, difabel daksa dan netra
sekaligus
Dalam
lingkungan sosial, hambatan-hambatan yang biasa dialami penyandang disabilitas
setidaknya ada dua, pertama, aksesibilitas fisik seperti tidak adanya ramp,
fasilitas publik yang tidak ada guiding block, tidak disedikanannya informasi
braile, video dan audio yang tidak difasilitasi bahasa isyarat, tidak adanya lift dalam bangunan bertingkat
dan seterusnya. Kedua, aksesibilitas
non fisik seperti petugas layanan publik dan masyarakat yang tidak memahami
cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
Dalam
konteks bernegara, penyandang disabilitas sebenarnya telah dijamin haknya.
Setidaknya Indonesia telah memiliki dua aturan pokok, yaitu Undang-Undang No. 8
tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Convention on The Rights of Persons With Disabilities, di mana
Indonesia telah meratifikasi pada tanggal 10 November 2011. Dalam kedua aturan
tersebut diantur hak-hak penyandang disabilitas, yakni : hak untuk hidup,
perlndungan dalam situasi yang penuh resiko dan darurat, pengakuan yang setara
di depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan
yang kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan
terhadap privasi, bebas untuk hidup
mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, ha katas informasi,
penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan
publik dan politik, kebebasan berekpresi, serta hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitasi dan
habilitasi, dan hak atas pekerjaan.
Problem
pemenuhan hak penyandang disablitas semakin kesini semakin tersuarakan. Hal ini
tidak terlepas dari data penyandang disabilitas yang relatif besar di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan
bahwa kecacatan telah menimpa sekitar 15% dari total penduduk di Negara-negara
dunia. Di Indonesia, penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 36. 150. 000
orang; sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang penduduknya
mencapai 241 juta jiwa. Sebelumnya, tahun 2004 penyandang
disabilitas Indonesia diperkirakan
sebanyak 1. 480. 000 dengan rincian : fisik 162. 800 (11%), tunanetra 192. 400
(13%), tuna rungu 503. 200 (34%), mental dan intelektual 348. 800 (26%), dan
orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta dan tuberklosis) 236. 800 (16%).
Jumlah angka ini diperkirakan jumlah penyandang disabilitas yang tinggal dengan
keluarga atau masyarakat, dan belum termasuk mereka yang tinggal di panti
asuhan.
Hak Penyandang Disabilitas atas
Informas
Hak
atas informasi adalah hak semua orang.
Termasuk dalam hal ini adalah penyandang disabilitas. Secara spesifik
Pasal 5 ayat 1 huruf t Undang-Undang No. 8 tahun 2016, menyatakan bahwa
penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh
informasi. Pasal 24 dinyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak
berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi meliputi hak (a) memiliki
kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) mendapatkan informasi dan komunikasi
melalui media yang mudah diakses, (c) menggunakan dan memperoleh fasilitas
informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi
augmentative dalam interaksi resmi.
Aturan
di atas sangat jelas mengatur hak informasi penyadang disabilitas. Namun, dalam
prakteknya, penyandang disabilitas tidak mendapatkan haknya. Mengapa? Karena
informasi yang selama ini disajikan dalam ruang publik, tidak akses atau bahkan
tidak dapat dibaca sama sekali oleh penyandang disabilitas.
Seperti
yang dikemukakan sebelumnya, penyandang disabilitas memiliki hambatan-hambatan,
diantaranya adalah hambatan penglihatan, pendengaran, wicara dan mobilitas.
Dalam konteks ha katas informasi, penyandang disabilitas yang biasa mengalami
pelanggaran adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan dan hambatan
pendengaran dan wicara.
Bagi
penyandang disabilitas yang memiliki hambatan penglihatan, maka informasi media
cetak sulit dibaca, bahkan tidak bisa dibaca, karena penyandang disabilitas
penglihatan akan bisa membaca dengan media braille atau informasi yang berupa
bunyi atau suara. Tidak ada media cetak selama ini yang berbentuk braille, dan
sedikit juga media elektronik yang menyajikan informasinya dalam bentuk suara.
Penyandang disabilitas pendengaran dan wicara, umumnya mengalamai kesulitan
memahami informasi media televisi. Sebagian besar, media televisi belum
memfasilitasi penerjemah bahasa isyarat.
Dengan
beberapa masalah di atas, sudah selayaknya tata kelola informasi, baik cetak
maupun elektronik dibenahi. Komisi Informasi Publik sudah selayaknya mengawal
hak atas informasi bagi penyandang disabilitas. Pemerintah yang notabene menjadi
pemangku kewajiban pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, sudah seharusnya
bertanggungjawab atas pelanggaran hak atas informasi yang masih terjadi.
x
0 comments:
Post a Comment