20 February 2013

Memahami Realitas : Refleksi

~~ M. Syafi' ie

Dunia realitas merupakan dunia nyata, nampak atau kebalikan dari dunia maya. Bahasa yang yang sering dipadankan dengan realitas adalah dunia obyektif yaitu dunia yang sesungguhnya dimana areal kondisinya dirasakan secara langsung oleh orang yang menjalani dan mengalaminya. Membincangkan areal obyektif membutuhkan totalitas diri untuk terlibat dan menyelaminya serta menghilangkan unsur-unsur subyektif. Eksistensi subyektif harus dileburkan dengan kepentingan-kepentingan realitas obyektif dengan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi jarak yang memisahkan atau kepentingan-kepentingan yang merasuki dan mempengaruhi terhadap relasi antara entitas subyektif dan realitas obyektif.

Konstelasi dan tarik menarik antara kepentingan subyektif dan realitas obyektif sadar atau tidak sangatlah mempengaruhi terhadap harmonisasi eksistensi kehidupan bahkan kerapkali menjadi penyebab terjadinya disintegrasi sosial kemasyarakatan. Dimana kepentingan subyektif yang berupa dogma, ideologi, ataupun teks-teks yang normatif seringkali menjadi sesuatu yang eksklusif yang tidak bisa diinterpretasi ulang sesuai dengan konteks obyektif yang terjadi. Posisi inilah yang kerapkali menimbulkan kesenjangan-kesenjangan dan ekses yang tidak memperhatikan kemanusiaan.
Sebenarnya disini bukanlah teks yang menyebabkan ekslufitas dan sukar untuk dibumikan dengan konteks yang ada. Penyebabnya bersumber dari personality yang memahami terhadap teks yang bersangkutan sehingga dalam perspektif ini menegaskan bahwa subyektifitas dan ekslufitas teks tergantung paradigma seseorang memaknai teks sebagai bagian dari agama, norma atau konteks yang bersangkutan.

Dalam memahami keberadaan teks terdapat banyak golongan yang kesemuannya mengambil dari prinsip-prinsip normatifitas. Ada yang menjadikan teks sebagai sentral dan paripurna. Yang menurut perspektif mereka keberadaan teks merupakan penuntun dan berlaku universal yang tidak akan berubah sesuai dengan konteks zaman yang ada. Tanpa berpretensi mengklasifikasikan umat terhadap pengelompokan tertentu biasanya kelompok ini seringkali disebut sebagai kelompok tekstualis. Yang paling menarik dari kelompok ini terdapatnya totalitas tafsir terhadap teks dan meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran. Makanya klaim kelompok ini terhadap kelompok lain yang berbeda dengan tafsir dan keyakinan mereka dianggap sebagai komunitas yang ingkar atau kafir.

Dalam konteks ini terdapat banyak kritik terhadap paham tekstualis dan menempatkan mereka sebagai komunitas yang ekslusif, radikal dan keras. Pandangan terhadap kelompok ini bukan lagi sebagai satu stigma tapi sudah menjadi streotipe yang berupa pandangan dan keyakinan umum melihat kelompok ini. Persoalan mendasarnya terletak pada memaknai keberadaan agama, paham atau sebuah ajaran sebagai sebuah kebutuhan sosial yang mempunyai bangunan visi kemanusiaan. Ketika memahami ajaran sebagai teks yang baku dan anti terhadap konteks maka sejauhmana relevansi visi kemanusiaan dan keummatan itu terbangun?tidakkah untuk mengangkat terhadap derajat kemanusiaan itu harus memahami terhadap realitas yang ada, membumikannya dan mengangkat derajat mereka sebagai manusia yang bermartabat. Disinilah letak dari keniscayaan keberadaaan konteks sebagai realitas yang harus dihormati dan dipahami oleh teks-teks yang ada.

Sedangkan kelompok yang kedua menggunakan pendekatan liberalistik. Dimana metodologi yang mereka gunakan menghilangkan teks sebagai penentu dominan bahwa keberadaan teks tidak lain hanyalah sebagai doktrin yang fungsinya sebagai rujukan, masukan atau arahan dalam memahami konteks yang ada. Semboyan yang senantiasa dihidupkan dalam kelompok ini bahwa keberadaan agama sesungguhnya bukan untuk dirinya melainkan untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Sehingga meniscayakan menomorduakan teks bahkan kalau bisa tidak usah teks karena sesungguhnya otomatis dengan keberadaan teks itu sudah mengeliminir terhadap kemerdekaan kemanusiaan yang akan diwujudkan. Problem teks sebenarnya konotasi dari problem bahasa dimana menurut Jacques Derrida, keberadaan bahasa dalam identitasnya sudah membatasi, mengurung, dan mengarahkan yang dengan kata lain merupakan wujud dari penindasan itu sendiri. Untuk itu kemudian keberadaan teks semestinya hanyalah dijadikan doktrin yang fungsinya sebagai alat untuk melihat konteks kemanusiaan yang ada.

Sedangkan kelompok yang ketiga merupakan kelompok moderat atau yang menengahi terhadap perbedaan tajam antara kelompok tekstual dengan kelompok liberal dimana mengupayakan mensejajarkan terhadap mana yang diutamakan antara keberadaan teks dan konteks. Kelompok ini memandang bahwa keberadaan teks itu sangat berfungsi untuk menterjemahkan pesan-pesan ketauhidan sebagai mediasi untuk membangun areal kemanusiaan. Sehingga keberadaan teks meniscayakan untuk dibongkar secara metodologis sehingga mampu menangkap perubahan-perubahan (konteks) masyarakat. Berbagai wahana dicoba untuk dilakukan yang salah satunya menggunakan metodologi usul fiqh guna menangkap konteks kemudian selanjutnya bisa diterjemahkan dalam konteks hukum kekinian. Tetapi banyak tokoh yang membongkar terhadap kelemahan dari usul fiqh yang digagas oleh Imam Syafiie, sebagaimana diungkapkan Abu Zyd bahwa usul fiqh yang digagas Imam Syafiie sebagai metodologi masih menempatkan teks sebagai sesuatu yang dominan sehingga dalam mewujudkan realitas kerapkali menciptakan tatanan yang kaku, tidak fleksibel dan berakibat pada terciptanya dehumanisasi yang berkelanjutan. Apalagi semenjak era Imam Syafiie di masa kerajaan Bagdad abad ke-12 dan kerajaan Cordova abad ke-15 serta mulai abad ke 15- abad ke 16 terbangun sistem ‘ditutupnya pintu ijtihad’. Terjadi krisis kepercayaan dan pemikiran ditingkatan masyarakat serta mengkultuskan terhadap ketokohan mujtahid sebelumnya Maliki, Hambali, Hanafi, Syafiie, Ahmad dan lainnya. Ketergerusan ini mengantarakan umat islam pada era kegelapan dan sekaligus ditandai dengan kebangkitan kristen Eropa (renaisance) dengan kekuatan keilmuan, sains dan tekhnologinya.

Yang menjadi masalah substansial disini, dunia Islam menjadi anti pemikiran dan pengkultusan terhadap tokoh berikut segala simboliknya. Sedangkan disisi yan lain kebangkitan renaisance di eropa merupakan tindak lanjut dari sejarah buruk hubugan agama kristen yang berafiliasi dengan negara membunuh terhadap pengetahuan. Sebelum terjadinya renaisance sekitar abad ke-19 di Eropa terdapat kasus yang begitu menghebohkan dan menghancurkan sakralitas institusi agama. Tokoh fisika dan astronomi Galilio Galilie (1616) yang dihukum gantung karena menyebarkan terhadap ajaran seorang Pastor Copernicus (1545) dimana ajarannya mengatakan bahwa Bumi berputar mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Ajaran yang disampaikan Galilio Galilie bertentangan dengan ajaran agama kristen katolik yang menganut teori Geo Sentrisme yang berpendapat bahwa bumi sebagai sentral dan karenanya matahari mengelilinginya. Kisah pertentangan antara agama yang berkonspirasi degnan negara dan membunuh terhadap perkembangan pengetahuan tersebut menyebabkan terjadinya sekularisme dan sekularisasi di segala bidang, dimana agama itu menjadi urusan privat dan dipisahkan dengan publik (state).

Persoalan tersebut semakin meruncing dimana agama khususnya Islam bertahan dengan ketertutupannya walaupun mulai berubah ketika abad ke-19 dimana pintu ijtihad dibuka kembali dan kreatifitas terus dikembangkan. Tokoh-tokoh dalam hal ini meliputu Rifaat Tantawi, Syibawaihi, Iqbal, Mohammad Abduh, AlAfghani dan banyak lainnya. Tapi sayangnya tradisi ijtihadiyah dalam Islam kemudian dalam perjalanannya kalah power dengan kemajuan sains dan pengetahuan yang ada di Eropa. Sehingga dalam proses yang seperti itu kekuatan Eropa lebih mendominasi terhadap tatanan dunia dan menimbulkan akibat sekularisasi dan sekularisme yang sangat hebat dalam tatanan dunia baik dalam pemikiran, life style, nation ataupun dalam hal keberagamaaan.

Dampak itu cukup terasa sebagaimana diungkapkan Mohammad Iqbal bahwa tatanan dunia termasuk konsepsi negara dalam memaknai demokrasi. Menurutnya demokrasi menghilangkan posisi transdensi agama sehingga yang terjadi kemudian yang kuat semakin kuat dan yang miskin semakin miskin serta terjadinya ketimpangan akibat pengkhiantan kemanusiaa yang bertameng dalam topeng demokrasi serta entitas nation lainnya yang notabene mengacu terhadap tata dunia Eropa (global) yang sekuler.

Metodologi Usul Fiqh yang digagas Imam Syafiie dalam keonteks diatas mendapatkan tantangan yang luar biasa dimana teks tidak sepenuhnya berpihak pada pengetahuan, kemanusiaa dan kebebasan. Muncullah kreatifitas-kreatifitas yang mencoba membongkar terhadap dogmatisme agama dan membumikan Islam sebagai motivator kemajuan dengan tetap menjadikan transdensi sebagai sprit perubahan. Metodologi tafsir terbaru adalah ilmu hermeneutik dan semantik yang secara general membongkar makna teks sebagai sebuah domain yang meliputi pengarang, pembaca, konteks situasi kondisi yang terjadi sekaligus pembongkaran bahasa sebagai manifes mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.

Pribumisasi Islam ala Gus Dur, Obyektifikasi dan Strukturalisme Transdental ala Kuntowijoyo, Islam inklusif ala Nurcholis Madjid, Islam alternatif ala Jalaluddin Rahmat, ideologi intelektual Muslim ala Ali Syariati, Islam Publik dan Privat ala Dawam Rahardjo atau banyak lainnya bagi saya merupakan pemaknaan terhadap teks dan konteks yang ada sehingga dapat mencapai wujud kerahmatan dan penghormatan kemanusiaan sosial. Yang paling fundamental dan prinsip bagi saya bahwa pemikiran itu harus dihormati kalaupun ada kritik jangan sampai ada klaim yang mengarahkan pada pembunuhan pemikiran, perbedaan apalagi membunuh manusianya. Tindakan tersebut tidak lain merupakan watak yang buruk, sadis, anti kemanusiaan, dan karenanya pantas dilawan secara bersama-sama.

0 comments:

Post a Comment