21 February 2013
Dinamika dan Posisi HMI (MPO) di Era Transisi
Thursday, February 21, 2013
No comments
M. Syafi’ie [2]
Radikalisasi
gerakan HMI (MPO) terbangun dari empat faktor.
Pertama,
persentuhan aktifis HMI dengan
perkembagan
dunia
Islam, khususnya revolusi Iran
1979.
Kedua,
kebijakan rezim orde baru yang refresif utamanya terkait asas tunggal.
Ketiga,
faktor reformasi 1998 yang gagal.
Keempat,
faktor pengader HMI dan alumni
(Ubedillah
Badrun)
Gerakan
HMI mempunyai dinamikanya sendiri dalam setiap periode dan zamannya. Rezim
kekuasaan yang terbangun dalam struktur kekuasaan politik selalu terimbangi
oleh positioning sikap kritis gerakan mahasiswa, termasuk di dalamnya adalah
HMI. Struktur kekuasaan yang berjalan, sudah biasa terusik oleh lantangnya
suara gerakan mahasiswa. Rezim berkuasa dalam lintasan sejarah, selalu terganggu oleh gerakan mahasiswa, karena itu
penguasa telah terbiasa dengan mempolitisasi, melakukan infilterasi dan mengorganisasikan tekanan-tekanan
terhadap gerakan mahasiswa sehingga tidak padu dan berkonflik secara internal.
Perpecahan gerakan HMI yang kemudian menjadi organisasi HMI (Dipo) dan HMI
(MPO) tidak lepas dari intrik dan politisasi kekuasaan itu.
Pasca
jatuhnya rezim Orde Baru termasuk pada periode 2004-2005, tekanan politik
terhadap gerakan mahasiswa terasa minimalis. Pada periode ini, gerakan
mahasiswa bahkan mengalami masa-masa kebebasannya untuk menyuarakan sikap dan
membangun platform perjuangannya, baik pada level sipil-politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Periode 2004-2005, gerakan HMI (MPO) dan gerakan mahasiswa
pada umumnya masih terlingkupi dalam era transisi demokrasi pasca jatuhnya
rezimnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Di era transisional, semua unsur yang
berseberangan membaur dan bertarung walaupun dalam banyak indikator, sudah
tertebak pemenangnya.
Pada
tahun 2004, dalam pemilu eksekutif dan legislatif, kekuatan-kekuatan yang
dituduh sebagai kelompok status quo dan tidak reformis bahkan
kembali memenangkan pemilu, baik eksekutif dan ataupun legislatif. Konfigurasi
politik pada waktu itu kembali dikuasai oleh Golkar (128 kursi), PDI-P ( 109
kursi), PPP (58 kursi), Demokrat (55 kursi), PAN (53 kursi) dan PKB (52 kursi).[3] Sedangkan dalam pemilihan Presiden, SBY-JK
yang nota bene sebagai bagian
kelompok status quo juga memenangkan
pemilu. SBY-JK menang telak dengan 60,62% mengalahkan Megawati-Hasyim yang
hanya mendapatkan suara 39,38%.
Transisional yang masih muda itu bahkan mengubur
tokoh reformasi Amien Rais yang juga mencalonkan sebagai presiden. Amien Rais
bahkan telah dikalahkan oleh kandidat lainnya pada pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden pada tahap pertama. Transisi reformasi
yang sudah melewati fase-fase penting mulai masa transisi, instalisasi
regulasi, eksiprimentasi sampai pada fase konsolidasi sistem sampai pada
tahun 2004-2005 memperterang dari telah kembalinya rezim Orde Baru jilid II, yang tentu akan mempersuram
penegakan hukum dan HAM yang menjadi beban berat dari rezim otoritarian Orde
Baru.
Dinamika dan Positioning
Positioning
gerakan HMI (MPO) di era transisi, seirama dengan gagasan yang terkonstruksi
sebelum jatuhnya Soeharto, yaitu mendorong sistem revolusioner dan menolak
segenap anasir yang berbau orbaisme. Gerakan HMI (MPO) merupakan lokomotif dari
gerakan Islam yang konsisten semenjak perpecahan HMI yang menggugat otoritarianisme
sekaligus mendorong mundurnya Presiden Soeharto. HMI (MPO) yang keberadaannya
telah diharamkan karena menolak asas tunggal bergerak di bawah tanah dan aktif
melakukan konsolidasi serta membangun jejaring lintas elemen dengan menggunakan
lembaga-lembaga kantong seperti
LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa
Islam Jakarta), FKMIM (Forum
Komunikasi Mahasiswa Islam Makasar) dan beberapa lainnya.
Bangunan aliansi dan konsolidasi lintas
gerakan itu kemudian menggumpal dan terlibat protes jalanan menuntut Soeharto
untuk mundur. Di internal gerakan Islam yang tercatat sebagai ikon perlawanan
terhadap rezim Orde Baru dan juga sebagai ikon reformasi ialah HMI (MPO), PII,
LDK, dan didukung oleh DDII dan FUI. Keterlibatan PII, DDII dan FUI dalam
mendorong pergantian kepempimpinan tidak terlepas dari konteks semakin
membesarnya tuntutan untuk melakukan reformasi dan urgensi untuk melakukan
pergantian kepemimpinan nasional. Secara kronologis pada tahun 1993, Amien Rais
secara pribadi mengawali kampanye suksesi kepemimpinan nasional. Keberanian
Amien Rais mendorong bangkitnya semangat perlawanan perseorangan dan kelompok
yang selama rezim Orde Baru menjadi korban.
Menurut
Mashudi Muqarrabin, pada bulan Juli tahun 1997 merupakan awal terjadinya krisis moneter dan pada bulan
November 1997 berlangsung referendum di kampus UGM-UNHAS yang pendukung
utamanya ialah HMI (MPO), LDK dan AMM yang kemudian berdampak pada demo
besar-besaran secara sporadis di berbagai kampus pada bulan Pebruari-Maret 1998
di seluruh Indonesia. Demonstrasi yang cukup massif itu menyebabkan banyak
korban berjatuhan baik di internal gerakan mahasiswa, para aktifis maupun dari
pihak masyarakat sendiri. Beberapa mahasiswa meninggal dan luka-luka. Beberapa
aktifis yang vokal dihilangkan secara paksa. Dan masyarakat tidak dapat
dikendalikan sehingga terjadi penjarahan disana-sini, perkosaan dan
pembakaran-pembakaran. Situasi dan kondisi sosial terlihat kacau-balau dan pemerintah tidak mampu menghentikan arus massa
yang selama beberapa dasawarsa menjadi korban rezim otoritarian.
Demonstrasi
sosial yang menuntut Soeharto mundur dan krisis moneter yang berlangsung
bersamaan meniscayakan Soeharto mundur.
Tidak ada pilihan bertahan bagi Soeharto di tengah suasana sosial dan ekonomi
yang tidak kondusif. Apalagi, posisi Soeharto di level relasi internasinal
terkucilkan akibat tertuduh sebagai aktor yang wajib bertanggungjwab terhadap
pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang terjadi di beberapa tempat, utamanya
yang terjadi di Timor-Timur, DOM Aceh, dan Papua. Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya
menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ. Habibie. Pergantian
kekuasaan kepada BJ Habibie melahirkan polemik yang tidak kalah seru. Sosok BJ Habibie yang dikenal pintar dan
sholeh memecahkan banyak kekuatan yang sebelumnya tersentrum menurunkan
Soeharto.
Dalam
catatan majalah Gatra, Ummat, Tabloid Tekad dan Saksi menulis setidaknya
terdapat dua belas kelompok mahasiswa yang termasuk kelompok radikal revolusioner,
meliputi Forkot (Forum Kota), HMI (MPO), Famred (Front Aksi Mahasiswa Untuk
Reformasi dan Demokrasi), Komrad (Komando Rakyat Bersatu), Forbes (Forum Rakyat Bersatu), Gempar
(Gerakan Mahasiswa Penegak Reformasi), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa
se-Jakarta), KB UI (Keluarga Besar UI), Front Nasional, Front Jakarta, KPP PRD
(Komite Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik), dan Kobar (Komando Barisan
Rakyat). Organisasi-organisasi di atas menolak BJ Habibie sebagai Presiden
menggantikan Soeharto yang sekaligus menolak keputusan SI MPR.
Dari sekian organisasi revolusioner radikal di
atas, HMI (MPO) merupakan satu-satunya gerakan Islam yang menolak terhadap
kepemimpinan BJ Habibie. Pilihan politik HMI (MPO) bertolak belakang dari
mayoritas gerakan Islam yang mendukung BJ Habibie sebagai diputuskan dalam
Kongres Umat Islam (KUI) pada tanggal 3-7 November 1998. Bagi gerakan HMI
(MPO), kehadiran BJ Habibie tidak akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang
sesuai dengan tujuan reformasi. BJ Habibie tidak lebih merupakan kelanjutan
rezim otoritarian Soeharto. Eksistensi BJ Habibie juga akan menjadi jalan
lapang dari bangkitnya anasir-anasir kekuaatan rezim Orde Baru jilid II.
Menjadi
catatan penting saat itu ialah, sebagian umat Islam yang sepakat dengan kepemimpinan
BJ Habibie sebagaimana dalam forum kongres, mereka tidak segan-segan memukuli
dan menghalau kelompok radikal revolusioner yang gigih melakukan penolakan
terhadap peralihan kekuasaan kepada BJ Habibie. Lawan dari kelompok reformasi pada saat itu kemudian
tidak hanya aparat militer dan polisi. Melainkan dari kelompok-kelompok Islam
yang terbentuk dan menjadi pendukung total
BJ Habibie sebagai Presiden. Mereka terkenal dengan Pamswakarsa dan terbentuk
salah satunya atas dasar inisiasi
Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Jenderal ABRI.
Terkait
positioning HMI (MPO) yang berbeda dengan kelompok Islam mayoritas, Ubedilah
Badrun mengatakan, platform politik
gerakan HMI (MPO) setelah jatuhnya Soeharto berbeda secara total dengan gerakan
Islam umumnya. Gerakan HMI (MPO) menuntut dibentuknya model Pemerintahan
Presidium Nasional (DPN) yang bertugas untuk mengawal era transisional dan
sebagai alternatif menyelematkan bangsa setelah peralihan kepemimpinan dari
Soeharto kepada BJ. Habibie dan terlihat
semakin kuatnya anasir-anasir Orde Baru di elit politik. Karena itu, gerakan
HMI (MPO) menuntut Gus Dur, Megawati,
Amien Rais dan Akbar Tanjung yang telah
hidup di area kekuasaan untuk
mundur dari jabatannya. Keempatnya bagi gerakan HMI (MPO) dinilai telah
menghianati reformasi.
Gus
Dur yang telah menjadi Presiden dianggap
tidak mampu membawa bangsa ke arah
situasi yang lebih baik. Megawati dinilai lemah dan lebih banyak diam dan tidak
memperhatikan partisipasi kerja yang efektif. Amien Rais yang menjadi lokomotif
reformasi dinilai telah menghapus citra besar reformasi dengan tingkah polanya
yang vulgar dan lebih banyak bermanuver secara politik. Sedangkan Akbar Tanjung
dinilai HMI (MPO) mempunyai andil besar dalam menciptakan chaos pasca reformasi.
Keempat tokoh itu dituntut HMI (MPO) mundur untuk menyelamatkan transisional
reformasi sambil membantu pembentukan Dewan Presidium Nasional.
Menurut gerakan HMI (MPO), Dewan Presidium
Nasional merupakan representasi rakyat, mereka terdiri dari tokoh-tokoh daerah
yang kredibilitasnya diakui. Mereka diharapkan berasal dari kaukus geoetnik,
geokultural dan geopolitik, yang mewakili dari berbagai daerah. Tokoh-tokoh
bisa saja merupakan tokoh daerah, pemimpin adat, bahkan pemimpin politik.
Mereka diseleksi sesuai dengan track recordnya masing-masing oleh kaum muda.
Tugas utama dari DPN ialah mengadili Soeharto dan para penjahat politik maupun
ekonomi di era Orde Baru, membubarkan Golkar dan mempercepat pemilihan umum
untuk membentuk pemerintahan baru yang lebih representatif, bersih dari Orde
Baru dan demokratis.
Pembentukan
DPN merupakan salah satu upaya radikal HMI (MPO) untuk membalikkan terminologi reformasi menjadi
revolusi. Revolusi diharapkan mendorong perubahan yang sistemik, dan tidak
hanya menata ulang sistem atau reformasi yang terasa telah gagal. Kesempatan
untuk menata ulang sistem atau reformasi sebenarnya telah diberikan tetapi
proses itu telah mengalami kegagalan karena kuatnya dominasi elit politik
sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Revolusi
sebagaimana maknanya yang radikal
diharapakn dapat membawa perubahan yang berlangsung secara cepat dan diikuti
oleh terbentuknya pemerintahan yang populis, terciptanya kesadaran sosial pada
massa rakyat dan terjadinya perubahan relasi kelas dalam struktur sosial.
Kebijakan
Tematik Nasional HMI (MPO)
Tuntutan revolusioner-radikal gerakan HMI (MPO) di
atas, sesuai dengan pilihan tematik PB HMI tahun 1995-1997 yang menggariskan “Membangun Jaringan Keummatan Menuju
Masyarakat Berkeadilan”. Pada saat Soeharto jatuh kebijakan tematik PB HMI
menggariskan “Meletakkan Dasar-Dasar
Perubahan yang Humanis-Transenden Menuju Masyarakat Madani”. Pada tahun
1999-2001 tema besar PB HMI mengarahkan pada “Peran Profetis Kader HMI”. Setelah melewati sedikit fase
transisional setelah kejatuhan Soeharto dan tidak jelasnya arah reformasi, PB
HMI mengarahkan pilihan platform radikalnya pada tahun 2001-2003 yaitu “Revolusi Sistemik : Suatu Ikhtiar Menegakkan
Hak-hak dan Partisipasi Kaum Mustadh’afien Menuju Baldatun Toyyibatun Wa Robbun
Wafur”. Garis kebijakan revolusi
sistemik ini merupakan ikhtiar radikal mengembalikan transisional reformasi
yang seakan telah mencapai titik nadir kebuntuan setelah tuntutan dan arah
reformasi tidak menentu.
Revolusi
sistemik yang menurut Gramsci mengharuskan
adanya perubahan paradigma, karakter dan sistem pada masyarakat politik mengantarkan
pada garis tematik perjuangan gerakan HMI (MPO) tahun 2003-2005 yang bertema “Perubahan Sistem Ke Indonesiaan untuk Kaum
Lemah dan Terpinggirkan”. Gagasan periode 2003-2005 ini hendak mendesakkan
era transisional agar lepas secara total terhadap pola dan sistem yang lama
yang otoritarian dan penuh KKN, mempertegas struktur kemerdekaan negara
Indonesia, tidak tunduk terhadap kekuataan neoliberalisme dan mengarahkan semua kebijakan ke Indonesiaan untuk membela
kaum lemah dan terpinggirkan.
Salah
satu turunan tuntutan strategis pada 2003-2005 ialah menolak terhadap pemilihan
umum yang diselenggarakan pada tahun 2004. Seluruh struktur HMI (MPO) di seluruh
Indonesia diinstruksikan oleh PB HMI untuk menjadi golongan putih (golput).
Gerakan HMI (MPO) bersama gerakan sosial yang lain seperti Forum Perjuangan Pemuda Indonesia
(FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi (LS-ADI), Gerakan Mahasiswa Sosialis
(GMS) dan beberapa aktifis seperti Syafieq Alieha, Fadjrul Rahman dan Masinton
Pasaribu mendeklarasikan golput di kantor YLBHI (3/7/2004).
Golput bagi gerakan HMI (MPO) pada
pemilu 2004 merupakan protes atas
cacatnya sistem pemilu 2004 dan protes keras atas calon-calon Presiden dan
Wakil Presiden yang pada waktu itu yang
dianggap mengecewakan, sekedar mengobral janji palsu dan memutarbalikkan fakta-fakta
sosial. Capres-cawapres yang mempunyai latar belakang pernah memegang kekuasaan
dianggap tidak pernah menggunakan jabatannya untuk kepentingan rakyat. Mereka
bahkan dinilai telah memanipulasi keterbelakangan rakyat untuk melegitimasi upaya
kepentingan politik aktor-aktor itu.
Pada tahun 2004, seluruh struktur HMI (MPO) dari PB HMI sampai
ke tingkat HMI Komisariat, termasuk HMI FH UII sangat disibukkan untuk
merasionalisasi dan mengilmukan pentingnya menjadi golongan putih sebagai
protes atas buruknya sistem pemilihan umum. Dari diskusi ke diskusi sampai ke
demonstrasi, wacana mengenai golongan
putih selalu menarik perhatian. Apalagi di tingkat komisariat, golongan putih
menjadi debat yang tidak pernah
habis-habis didiskusikan. Mayoritas
mahasiswa pada waktu itu mengataan bahwa
memilih menjadi golongan putih sama halnya membiarkan pemimipin buruk
menjadi pemimpin. Memilih hukumnya wajib kata mereka. Konsolidasi untuk
menggerakkan massifitas tuntutan untuk menjadi golongan putih dan menjadi mosi ketidakpercayaan struktural
tidak berhasil. Banyak kader yang masih tetap
memilih. Tapi, sebagaimana prediksi sejak awal : kerusakan sistem pemilu dan
masih lemahnya kesadaran sosial masyarakat pasti melapangkan kekuasaan bagi mereka yang selama itu rame-rame
oleh aktifis digugat sebagai status quo.
[1] Pengantar diskusi reuni
kader HMI (MPO) FH UII dengan tema “Dinamika Kampus” yang diselenggarakan
pada Sabtu 9 April 2010
[2] Ketua HMI Fakultas Hukum UII Periode 2004-2005, Ketua HMI Cabang Yogyakarta periode 2006-2007 dan Ketua HMI Badan Koordinasi Indonesia Bagian Tengah 2007-2009
[3] Secara umum konfigurasi
politik sebelum tahun 2004 ialah, era BJ Habibie konfigurasi politik dikuasai
oleh Golkar, Fraksi TNI/Polri, Utusan Daerah dan Utusan Hasil Pemilu tahun
1997, sedangkan di era Gus Dur dan Megawati konfigurasi politik dikuasai oleh
PDI-P, PPP, PAN, PKB, PBB dan Golkar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment