22 December 2014

Fiqh dan Difabilitas

~~

Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti Focus Group Discussion tentang Fiqh & Difabilitas yg diselenggarakan Fakultas Syariah UIN SUKA, Yogyakarta. Kegiatan ini layak diapresiasi tinggi. Diakui atau tidak, diskriminasi yang menimpa difabel, salah satu sumbernya adalah fiqh islam yg terproduksi beberapa abad lalu, dan dalam beberapa hal telah menjadi hukum positif di Indonesia. Dan dalam beberapa hal lagi ad kebutuhan adanya fiqh yg bisa menjawab persoalan2 difabilitas.

Di antara diskriminasi itu misal, legalisasi perceraian atau poligami karena difabilitas, peniadaan hak waris karena difabel diposisikan di bawah pengampuan, tidak diperkenankannya difabel menjadi pihak dalam hubungan perdata (perjanjian di perbankan, asuransi, dst), tidak diakuinya difabel dlm persaksian, dan seterusnya. Fiqh Islam baik dimensinya perdata, pidana dan politik dalam banyak hal masih meniadakan hak-hak difabel.

Persoalan lain yang mesti di jawab oleh fiqh kontemporer ataranya ialah : gimana keabsahan ibadah difabel paraplegi yang kondisinya tdk mampu mengkontrol kencing? Bagaimana pertanggungjawaban agama difabel mental dimana antara umur kalender dan mentalnya berbeda? bolehkah sholat pake kursi roda? Dan seterusnya.

Jawaban fiqh biasanya selalu ad konsep darurat dan rukhsoh. Padahal dalam banyak kasus, difabel akhirnya terkucil di rumah dan tak dpt berinteraksi dlm pergaulan keagamaan. Akibatnya, tempat ibadah pun di Indonesia rata2 terdesain tdk aksesibel dan mudarat bagi teman2 difabel. Kadang saya bergumam, difabel di paksa di tutup haknya utk masuk surga

Karena itu, FGD fiqh dan difabel dan rencana lanjutan akan ad penulisan fiqh dan difabel adalah hal yang kontributif bagi kerja2 kemanusiaan dan peradaban. Yang penting juga, buku yg diinisiasi oleh beberapa dosen UIN SUKA ini mampu meramu dan mendorong pendekatan fiqh yg respect terhadap kesetaraan, persamaan antar manusia, inklusi dan non diskriminasi.

0 comments:

Post a Comment