~~
Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti Focus Group Discussion tentang Fiqh & Difabilitas
yg diselenggarakan Fakultas Syariah UIN SUKA, Yogyakarta. Kegiatan ini layak
diapresiasi tinggi. Diakui atau tidak, diskriminasi yang menimpa difabel,
salah satu sumbernya adalah fiqh islam yg terproduksi beberapa abad
lalu, dan dalam beberapa hal telah menjadi hukum positif di Indonesia. Dan
dalam beberapa hal lagi ad kebutuhan adanya fiqh yg bisa menjawab
persoalan2 difabilitas.
Di antara diskriminasi itu misal, legalisasi perceraian
atau poligami karena difabilitas, peniadaan hak waris karena difabel
diposisikan di bawah pengampuan, tidak diperkenankannya difabel menjadi
pihak dalam hubungan perdata (perjanjian di perbankan, asuransi, dst),
tidak diakuinya difabel dlm persaksian, dan seterusnya. Fiqh Islam baik
dimensinya perdata, pidana dan politik dalam banyak hal masih meniadakan
hak-hak difabel.
Jawaban fiqh biasanya selalu ad konsep darurat dan rukhsoh. Padahal dalam banyak kasus, difabel akhirnya terkucil di rumah dan tak dpt berinteraksi dlm pergaulan keagamaan. Akibatnya, tempat ibadah pun di Indonesia rata2 terdesain tdk aksesibel dan mudarat bagi teman2 difabel. Kadang saya bergumam, difabel di paksa di tutup haknya utk masuk surga
Karena itu, FGD fiqh dan difabel dan rencana lanjutan akan ad penulisan fiqh dan difabel adalah hal yang kontributif bagi kerja2 kemanusiaan dan peradaban. Yang penting juga, buku yg diinisiasi oleh beberapa dosen UIN SUKA ini mampu meramu dan mendorong pendekatan fiqh yg respect terhadap kesetaraan, persamaan antar manusia, inklusi dan non diskriminasi.
0 comments:
Post a Comment